服务承诺
资金托管
原创保证
实力保障
24小时客服
使命必达
51Due提供Essay,Paper,Report,Assignment等学科作业的代写与辅导,同时涵盖Personal Statement,转学申请等留学文书代写。
51Due将让你达成学业目标
51Due将让你达成学业目标
51Due将让你达成学业目标
51Due将让你达成学业目标私人订制你的未来职场 世界名企,高端行业岗位等 在新的起点上实现更高水平的发展
积累工作经验
多元化文化交流
专业实操技能
建立人际资源圈Production_of_Tea
2013-11-13 来源: 类别: 更多范文
Bab I
I. Umum
Sejak dasawarsa delapan puluhan (era 80-an), Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) kian berkembang menjadi bahan percaturan yang sangat menarik. Di bidang ekonomi, terutama industri dan perdagangan internasional, HaKI menjadi demikian penting.
Dalam hubungan antar bangsa, kaitannya yang erat dengan perdagangan internasional tidak jarang telah memberi warna politik tersendiri. Baik secara langsung ataupun tidak langsung, keadaan tadi secara lebih banyak telah memberikan pengaruh terhadap cara pandang HaKI pada tingkat nasional.
Mungkin masih segar ingatan kita, semasa dasawarsa enam puluh atau tujuh puluhan, jarang terdengar ada perusahaan film atau asosiasi film nasional sebuah negara menjadi ribut hanya karena film-nya sedikit ditayangkan di negara lain, baik dalam arti jumlah judul maupun masa tayangnya. Lebih jarang lagi terdengar adanya “keributan” yang terjadi sekarang ini bukan saja masalah soal akses ke pasar, melainkan juga menyangkut pelanggaran Hak Cipta atas film yang bersangkutan, hak penyewaan (rental right) beserta pembagian pendapatan dari penyewaan tersebut, dan bahkan hak para pemain film dalam hal film tersebut diperbanyak dalam bentuk video.
Pada dasawarsa tersebut (60-70an), bahkan hampir tidak ada pemerintah negara lain demikian marah kepada pemerintah negara lain karena tidak adanya perlindungan paten yang telah dimiliki oleh industri obatnya. Dahulu jarang terdengar ada pemerintah negara mengancam kepada pemerintah negara lain, hanya karena penilaian mengenai kurangnya perlindungan HaKI di negara yang menerima fasilitas atau preferensi tadi.
Meredanya perang dingin telah menjadi sebab utama pengalihan sebagian besar modal dan teknologi dari industri militer ke “industri sipil”. Pemerintah negara-negara terutama di mana industri militer semula begitu menjadi tumpuan ekonomi secara nasional, menjadi sadar betapa pentingnya memberi perhatian dan perlindungan terhadap segala HaKI yang kemudian tumpah ruah dalam “industri sipil” tadi, termasuk di dalamnya, perhatian dan perlindungan atas HaKI yang digunakan “industri sipil” mereka dalam operasinya di luar negeri.
Derasnya perhatian itu, sebagian karena dorongan karena terjadinya resesi ekonomi yang melanda negara-negara industri diakhir dasawarsa tujuh puluhan. Keadaan yang antara lain telah mendorong penawaran pemberian dana dalam rangka bantuan ekonomi (dan dikaitkan dengan syarat untuk dibelanjakan barang atau jasa di negara pemberi bantuan yang bertujuan guna menggerakkan roda ekonominya), menghindarkan berbagai proyek yang pelaksanaannya dikaitkan dengan kebutuhan akan perlindungan berbagai HaKI yang digunakan.
Kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang sangat pesat, juga telah mendorong globalisasi HaKI. Suatu barang atau jasa yang hari ini diproduksi oleh suatu negara, disaat berikutnya telah dapat dihadirkan di negara lain. Kehadiran barang atau jasa yang selama proses produksinya telah menggunakan HaKI, dengan demikian juga memerlukan perlindungan atas HaKI yang bersangkutan. Kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa dari kemungkinan pemalsuan, atau persaingan yang tidak wajar (curang), juga berarti kebutuhan untuk melindungi HaKI yang digunakan pada atau untuk membuat produk yang bersangkutan.
Gambaran singkat ini kiranya menjadi jelas mengapa upaya untuk melindungi HaKI menjadi hal yang penting bagi negara-negara di dunia saat ini. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa perlindungan terhadap HaKI sama pentingnya dengan perlindungan kepentingan ekonomi, terutama dalam perdagangan internasional, karena selanjutnya pertikaian HaKI sudah tidak lagi menjadi masalah teknis hukum, tetapi juga menyangkut pertikaian bisnis dan merengguh keuntungan.
II. HaKI dan Karya Intelektual Manusia
Secara substantif pengertian HaKI dapat di deskripsikan sebagai “Hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia”.
Penggambaran di atas pada dasarnya memberikan kejelasan bahwa HaKI memang menjadikan karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia sebagai inti dan objek pengaturannya. Pemahaman mengenai HaKI karenanya merupakan pemahaman mengenai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual tadi.
Dikatakan sebagai kemampuan intelektual manusia karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, seni sastra, ataupun teknologi memang dilahirkan atau dihasilkan oleh manusia melalui kemampuan intelektualnya, melalui daya cipta, rasa dan karsanya. Karya-karya seperti ini, penting untuk dibedakan dari jenis kekayaan lain yang juga dapat dimiliki manusia, tetapi tidak tumbuh atau dihasilkan oleh intelektualita manusia. Misalnya: kekayaan yang diperoleh dari alam, seperti tanah dan atau tumbuhan berikut hak-hak kebendaan lain yang diturunkan. Dari segi ini, tampak mudah dipahami sebagaimana Intellectual Property Right (IPR) yang berbeda dengan Real Property.
Karya-karya intelektual tersebut, apakah di bidang ilmu pengetahuan, atau seni, sastra, atau teknologi, dilahirkan dengan pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihadirkan menjadi bernilai. Apalagi dengan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, maka nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsep kekayaan (property) terhadap karya-karya intelektual itu bagi dunia usaha karya–karya itu dikatakan sebagai assets perusahaan.
III. HaKI dan Sistem Hukum Indonesia
Tumbuhnya konsepsi Kekayaan atas karya-karya intelektual manusia pada akhirnya menimbulkan kebutuhan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Pada gilirannya, akan melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan intelektual (Intellectual Property) tadi, termasuk di dalamnya adalah pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan hakekatnya pula, HaKI dikelompokkan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (intangible).
Paham mengenai hak milik Indonesia yang dikenal dalam Hukum Perdata yang berlaku hingga saat ini pada dasarnya tergantung pada konsepsi Kebendaan. Lebih dari itu, konsep itupun ternyata sangat digantungkan pada asumsi fisik, yaitu tanah/ alam dan benda lain yang dikandung atau tumbuh diatasnya. Kalaupun kemudian berkembang pada asumsi non-fisik atau tidak berwujud, maka hak-hak seperti itu masih bersifat derivatif dari hak-hak yang berpangkal dari konsep kebendaan tadi.
Buku Kedua tentang Kebendaan pada KUHPerdata yang selama ini diberlakukan memperlihatkan semuanya itu. Dari isi Buku Kedua KUHPerdata belum tertampung tentang hak-hak atas kekayaan intelektual manusia itu sendiri. Itulah sebabnya, mengapa introduksi dalam tulisan ini dikatakan telah melengkapi dan memperkaya paham hak milik dalam hukum perdata di Indonesia.
IV. Perkembangan HaKI di Indonesia
IV.1. Pengakuan dan Perlindungan Hukum
Dari sudut pandang HaKI, penumbuhan aturan tersebut diperlukan karena adanya sikap penghargaan, penghormatan, dan perlindungan tidak saja akan memberikan rasa aman, tetapi juga akan mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat untuk menghasilkan karya-karya lebih besar, lebih baik dan lebih banyak.
Jika harus dilihat dari sisi nasional, dimana manusia Indonesia berperan sebagai pelaku atau pelaksana, dan meningkatnya profesionalisme dan produktifitasnya merupakan sesuatu yang benar-benar ingin diwujudkan, maka penumbuhan dan pengembangan HaKI dalam sistem hukum di Indonesia memiliki arti yang penting. Kongkritnya kita ambil dari salah satu jenis HaKI, yaitu PATEN. Sasaran kehidupan masyarakat yang seimbang jika terdapat kehidupan ekonomi yang seimbang pula, dalam kaitan dengan industri singkatnya tercipta salah satu tatanan ekonomi yang bertumpu pada sektor industri. Tanpa mengabaikan penting faktor produksi yang lain, seperti modal, keahlian, tenaga kerja, manajemen dan lain-lain. Dengan Teknologi, industri kian mampu menghasilkan produk yang secara teknologi ekonomi memenuhi kebutuhan hidup baik dalam arti kuantitatif ataupun kualitatif. Dengan teknologi pula yang mampu memberikan efektifitas dan sekaligus kenyamanan (comfortability) dengan tingkat harga dan nilai yang semakin bersaing.
Dengan begitu besarnya peranan teknologi dibuatnya Undang-undang Paten Indonesia pertama kali, yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten dimaksudkan untuk memberikan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap teknologi yang ditemukan.
Dengan gambaran singkat ini, tampak betapa kebutuhan penumbuhan dan pengembangan sistem HAKI sebenarnya berakar pada kebutuhan masyarakat itu sendiri. Setidaknya, kebutuhan tersebut juga merupakan bagian dari kebutuhan masyarakat terhadap hukum nasional.
Pengembangan HaKI terwujud dalam kebutuhan akan perlindungan hukum yang berintikan pada pengakuan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual tersebut, dan hak untuk atau dalam waktu tertentu dapat dieksploitasi-komersialisasi atau menikmati sendiri kekayaan tersebut. Selama kurun waktu tertentu orang lain hanya dapat menikmati atau menggunakan atau mengeksploitasi hak tersebut atas ijin pemilik hak. Karenanya perlindungan dan pengakuan hak tersebut hanya diberikan khusus kepada orang yang memiliki kekayaan tadi, maka sering dikatakan bahwa hak seperti itu eksklusif sifatnya (exclusive right).
Adanya perlindungan hukum seperti itu dimaksudkan agar pemilik hak dapat menggunakan atau mengeksploitasi kekayaan tadi dengan aman. Pada giliranya, rasa aman itulah yang kemudian menciptakan iklim atau suasana yang memungkinkan orang dapat berkarya guna menghasilkan ciptaan atau temuan berikutnya. Sebaliknya, dengan perlindungan hukum pula, pemilik hak diminta untuk mengungkapkan jenis, bentuk atau produk dan cara kerja atau proses serta manfaat dari kekayaan itu. Ia dapat aman mengungkapkan (discloses) karena adanya jaminan perlindungan hukum, sebaliknya masyarakat dapat ikut menikmati atau menggunakan atas dasar ijin atau bahkan mengembangkannya secara lebih lanjut.
Dalam hal ini hukum bukan hanya berfungsi mendisplinerkan ekonomi, tetapi terwujud dalam kegiatan-kegiatan ekonomi itu sendiri. Ini berarti bahwa kehadiran sistem peraturan (hukum) merupakan syarat mutlak untuk dapat berlangsungnya kegiatan ekonomi atau bisnis.
Pasal 27 the Declaration of Human Rights, yang menyatakan: Everyone has the right Freely to participate in the culture life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefit; Everyone has the right to the protection of the moral and material interest resulting from any scientific, literary of artistic production of which he is the author.
Untuk menjaga keseimbangan kepentingan pribadi individu dengan kepentingan masyarakat, sistem Hak atas Kekayaan Intelektual didasarkan pada prinsip-prinsip, antara lain, Prinsip keadilan (the principal of natural justice). Prinsip ini menunjukan bahwa seorang atau kelompok penemu atau inventor sebuah penemuan atau invensi atau orang lain yang bekerja padanya, yang membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya wajar memperoleh imbalan. Imbalan tersebut dapat merupakan materi maupun bukan materi, seperti adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan tersebut demi kepentingan pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut, yang kita sebut ” hak”.
Setiap “hak” menurut hukum tersebut mempunyai titel, yaitu sebagai suatu peristiwa tertentu yang dapat menjadi alasan melekatnya hak itu kepada pemiliknya. Berkaitan dalam bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual, maka peristiwa yang menjadi alasan melekatnya hak itu adalah penemuan yang berdasarkan atas kemampuan intelektualnya. Perlindungan ini pun tidak terbatas di dalam negeri si penemu itu sendiri, melainkan juga dapat meliputi perlindungan di luar batas negaranya.
Hukum berpengaruh pada kehidupan ekonomi dalam bentuk pemberian norma-norma yang mengatur tindakan-tindakan ekonomi membutuhkan peraturan-peraturan untuk mengendalikan perbuatan manusia agar optimasi penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai dengan tertib, tanpa menimbulkan kekacauan. Kemungkinan terjadinya konflik antara hukum dan ekonomi merupakan masalah interaksi antara hukum dan ekonomi terutama menyangkut kompleksitas dan beragamnya aktifitas bisnis tersebut pada umumnya. Akan tetapi, justru dari dialektika konflik antara hukum dan ekonomi ini, dapat diketahui pola interaksi berupa pengaruh pertimbangan ekonomi dalam kehidupan hukum.
Sebagai suatu regime hukum yang masih relatif baru di Indonesia, HaKI bersumber pada beberapa peraturan perUndang-undangan, sebagai berikut.
IV. 1. 1. Hak Cipta
Sumber hukum atau pengaturan hak cipta di Indonesia sudah ada sejak tahun 1912, yaitu berlakunya Auteurswet 1912, Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 pada tanggal 23 September 1912. Kemudian tahun 1913 Pemerintah Belanda menandatangani Konvensi Bern, sehingga Indonesia memberlakukan ketentuan-ketentuan dari Konvensi Bern. Pada tahun 1958 Indonesia keluar dari Konvensi Bern dalam masa Perdana Menteri Djuanda dengan maksud untuk memberi kesempatan bagi bangsa kita memperbanyak dan menterjemahkan buku-buku luar negeri demi memajukan ilmu pengetahuan di dalam negeri.
Selanjutnya, salah satu sumber utama hukum HaKI di bidang hak cipta adalah berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982, kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987. Kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, yang diundangkan pada tanggal l7 Mei 1997.
Selain itu, terdapat dua Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1986 tentang Dewan Hak Cipta, yang telah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1989. Peraturan yang lain, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1989 tentang penerjemahan dan/atau perbanyakan Ciptaan untuk Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan. Peraturan ini pada dasarnya mengatur operasionalisasi ketentuan mengenai lisensi wajib di bidang hak cipta (Compulsory Licensing).
Dalam rangka perlindungan hak cipta yang bersifat timbal balik dengan negara lain, terdapat Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1988 tentang ratifikasi persetujuan Indonesia dengan Masyarakat Eropa mengenai pelindungan rekaman suara. Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1989 tentang ratifikasi persetujuan perlindungan tentang Hak Cipta antara Indonesia dengan Amerika Serikat, dan keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1993 tentang ratifikasi persetujuan perlindungan Hak Cipta antara Indonesia dengan Australia. Terakhir Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1994 tentang ratifikasi perjanjian bilateral antara Indonesia dengan Inggris mengenai perjanjian perlindungan Hak Cipta.
Diadakannya perjanjian-perjanjian bilateral tersebut di atas karena adanya pernyataan tidak aktif dalam Konvensi Bern (Perjanjian Internasional di bidang Hak Cipta) di awal dekade tahun 1960-an. Indonesia kembali menjadi anggota Konvensi Bern sejak tahun 1997. Pada saat ini Indonesia sedang memperbaiki kembali Undang-undang Hak Ciptanya sehubungan dengan diratifikasinya persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 (LN Tahun 1994 No. 57, TLN No. 3564).
IV. 1. 2. Paten
Sumber hukum atau pengaturan paten di Indonesia sudah ada sejak penjajahan Belanda, yaitu dengan berlakunya Oktrooiwet 1910 Stb. No. 33, yang mulai berlaku sejak 1 Juli 1912. Setelah Indonesia merdeka Undang-undang Oktroi ini dinyatakan tidak berlaku karena berlakunya tidak sesuai dengan suasana negara yang berdaulat.
Hal yang sangat bertentangan dengan kedaulatan Indonesia adalah adanya ketentuan di dalam Undang-undang Oktroi tesebut bahwa permohonan oktroi di wilayah Indonesia diajukan melalui Kantor Pembantu di Indonesia yang selanjutnya diteruskan ke Octrooiraad di Negeri Belanda.
Pernyataan tidak berlakunya Undang-undang Oktroi ini tidak segera diikuti dengan pembentukan Undang-undang Paten baru. Pengaturan selanjutnya dan guna menampung permintaan paten di dalam negeri dikeluarkan Pengumuman Menteri KeHaKIman RI No. J.S. 5/41/4 B.N. 55 tanggal 12 Agustus 1953, yaitu memberikan suatu upaya yang bersifat sementara. Selanjutnya untuk menampung permintaan paten luar negeri, dikeluarkan Pengumuman Menteri KeHaKIman No. J.G. 1/2/17 B.N. 53-91 tanggal 29 Oktober 1953.
Kemudian dikeluarkan undang-undang No. 6 Tahun 1989, yang beberapa perubahan dengan Undang-undang No.13 Tahun 1997 tentang Paten, tanggal 7 Mei 1997. Pada waktu itu telah pula dikeluarkan tiga peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1991 tentang pendaftaran Khusus Konsultan Paten, dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1991 tentang Tata Cara Permintaan Paten.
Indonesia juga telah meratifikasi persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia/WTO beserta salah satu lampirannya yaitu persetujuan Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994. Dengan demikian Indonesia harus menyesuaikan semua peraturan HaKI-nya dengan persetujuan internasional tersebut termasuk Paten. Dalam hal ini kita telah mempunyai Undang-undang Paten tersebut, yaitu Undang-undang No. 14 tahun 2001 yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Agustus 2001.
IV. 1. 3. Merek
Pengelolaan merek dalam sistem hukum Indonesia dimulai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 21 tahun 1961 tentang merek perusahaan dan merek perniagaan apad atnggal 11 Oktober 1961.
Undang-undang merek tahun 1961 ini diperbaiki dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992, yang mulai berlaku efektif tanggal 1 April 1993. Selanjutnya diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 pada tanggal 17 Mei 1997. Berdasarkan pertimbangan bahwa merek mempunyai peranan yang penting dalam era globalisasi dan mempertahankan persaingan usaha yang sehat serta diratifikasinya perjanjian internasional seperti telah dijelaskan di atas, maka dibuatlah satu Undang-undang Merek baru yang dapat memenuhi kebutuhan usaha sekarang, yaitu Undang-undang No. 15 tahun 2001 yang telah diberlakukan pada tanggal 1 Agustus 2001.
Selain Undang-undang ini, terdapat pula dua Peraturan Pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1993 tentang Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek.
Peraturan-peraturan perundang-undangan di atas sampai dewasa ini merupakan sumber hukum utama HaKI di Indonesia.
IV. 1. 4. Desain Industri
Di bidang desain industri, sumber pengaturannya dimulai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Sebelumnya tidak ada pengaturan khusus mengenai Desain Industri. Istilah yang digunakan dalam pasal 17 dari Undang-undang No. 5 tersebut adalah desain produk industri dimana pengaturan selanjutnya akan dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Sayangnya PP tersebut tidak pernah dikeluarkan. Kemudian dengan diratifikasinya perjanjian WTO/TRIPs dengan Undang-undang No. 7 tahun 1994 dan keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Paris serta the Hague Agreement (London Act) concerning the International Deposit of Industrial Design, maka dibentuklah Undang-undang No. 31 tahun 2000 tentang desain industri yang berlaku pada tanggal 20 Desember 2000.
IV. 1. 5. Rahasia Dagang
Di Indonesia, istilah rahasia dagang, trade secret, know-how tidak dapat ditemukan dalam KUH Perdata maupun KUHD. Yang ada adalah bahwa informasi yang rahasia dilindungi dalam kontrak atau perjanjian berdasarkan Hukum Perdata serta mengikat bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut. Informasi yang rahasia tersebut dapat dikategorikan sebagai rahasia dagang. Karena rahasia dagang dimasukkan sebagai salah satu klausul dalam kontrak, maka bila ada pelanggaran kontrak terhadap rahasia dagang berlaku pasal 1365 KUH Perdata yang berhubungan dengan perbuatan melanggar hukum dan ganti rugi. Selain itu untuk aspek pidananya diatur dalam pasal 382 bis KUHP mengenai persaingan curang. Pasal-pasal tersebut di atas telah diterapkan dalam berbagai kasus perlindungan rahasia dagang dan telah menjadi Jurisprudensi di Indonesia sejak tahun 1919. Sayangnya, ketentuan dalam pasal-pasal tersebut sudah tidak memadai dan tidak mengikuti perkembangan teknologi dan praktek bisnis dewasa ini.
Selanjutnya dengan diratifikasinya perjanjian WTO/TRIPs dengan Undang-undang No. 7 tahun 1994 dan diundangkannya Undang-undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat maka dibentuklah Undang-undang Rahasia Dagang No. 30 tahun 2000 yang berlaku sejak tanggal 20 Desember 2000.
IV. 1. 6. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Pengaturan desain tata letak sirkuit terpadu merupakan peraturan baru yang dimiliki Indonesia sebagai konsekuensi dari diratifikasinya perjanjian WTO/TRIPs dengan Undang-undang No. 7 tahun 1994. Undang-undang No. 32 tahun 2000 tentang desain tata letak sirkuit terpadu ini telah diberlakukan pada tanggal 20 Desember 2000.
Selain yang tersebut di atas, hukum HaKI di Indonesia juga bersumber dari ketentuan-ketentuan HaKI internasional, seperti yang terdapat di dalam ketentuan-ketentuan WIPO, TRIPs, dan traktat-traktat lainnya.
Apabila kita berbicara masalah penegakan hukum, pemikiran selalu terisolasi dalam pengertian yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang terjalin dalam satu sistem peradilan (criminal justice system), sesuai dengan Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, yang dimulai dengan penyidikan sebagai tahap awal, yang dilaksanakan oleh penyidik, yang dilanjutkan dengan penuntutan oleh penuntut umum, kemudian penyidangan perkara di pengadilan oleh Hakim dan diakhiri dengan eksekusi keputusan Hakim di Lembaga Pemasyarakatan.
Penegakan hukum berdasarkan Undang-undang HaKI di Indonesia lebih luas dari pengertian tersebut di atas. Penegakan hukum HaKI juga dilakukan badan atau instansi lain di luar badan atau instansi tersebut, seperti Bea Cukai dan Instansi Direktorat Jenderal HaKI. Sebagaimana telah kita uraikan di dalam rumusan-rumusan terdahulu, bahwa Undang-undang HaKI di Indonesia dalam perubahan dan penyempurnaannya dipengeruhi oleh persetujuan-persetujuan internasional, utamanya TRIPs. Pengaruh ini tidak hanya di bidang pengaturan objek Hak atas Kekayaan Intelektual, tetapi TRIPs juga memuat aturan-aturan yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota di bidang penegakan hukum, yang harus dimasukkan ke dalam hukum nasional negara-negara anggota. Hal ini juga menjadi salah satu acuan dalam penegakan HaKI di Indonesia.
Melalui perlindungan hukum pada gilirannya pemilik hak dapat menggunakan ataupun eksploitasi kekayaan intelektual dengan rasa aman, selanjutnya akan menciptakan iklim yang memungkinkan orang untuk berkarya guna menghasilkan penemuan atau ciptaan berikutnya. Dengan perlindungan hukum itu pula disamping masyarakat mendapatkan jaminan hukum atas produk tertentu, masyarakat juga dapat terus menikmati atau menggunakan kekayaan tadi atas dasar ijin (lisensi, mengalihkan hak sebagian/ keseluruhan) atau bahkan turut serta mengembangkan kekayaan intelektual tersebut lebih lanjut.
IV. 2. Budaya dan Ideologi Indonesia
Berdasarkan uraian selintas di atas, kita dapat sedikit menyimpulkan betapa eksklusifnya HaKI dan lebih condong berbau paham individualistik dan komersialis-kapitaslis. Budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia dalam kerangka ideologi negara, tetap memandang dan menempatkan manusia dalam sosok yang utuh, yaitu manusia dalam kodratnya sebagai pribadi yang merupakan makhluk yang hidup yang menjadi bagian dari kelompok manusia yang lain. Paham keselarasan dan keserasian yang melingkupi kehidupan tersebut terdapat pandangan dan penghargaan terhadap manusia sebagai pribadi memiliki bobot yang sama dengan hakekat dan martabat sebagai makhluk sosial.
Tanpa mempersoalkan cara pandang dengan paham mengenai individualisme yang berkembang dalam pemikiran dunia barat, Pancasila juga memandang manusia sebagai makhluk pribadi yang sama tinggi dan bobotnya dengan manusia sebagai mahluk sosial. Penghargaan kepada manusia sebagai makhluk pribadi termasuk terhadap karya-karya yang dihasilkan dan dibuatnya tetap memperoleh gelar yang tinggi. Bagaimana mewujudkan keseimbangan antara hak milik perorangan yang sifatnya eksklusif dengan kepentingan masyarakat, atau bagaimana mewujudkan wajah fungsi sosial-nya HaKI, soalnya inilah yang perlu diusahakan dan dipersoalkan di Indonesia. Sebenarnya fungsi sosial dari peraturan HaKI telah ada, yaitu dengan diperkenalkannya sistem lisensi wajib dimana produk HaKI seperti paten, merek, desain industri yang tidak digunakan atau diproduksi di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, pihak yang berminat dapat memintakan lisensi wajib kepada Direktorat Jenderal HaKI. Sayangnya mekanisme lisensi wajib ini belum dimanfaatkan dan diketahui oleh para pengusaha kita.
V. Pengelompokan HaKI
HaKI pada intinya terdiri dari beberapa jenis, secara “konvensional” dipilih dalam dua kelompok, yaitu :
a. Hak Cipta (Copyright);
b. Hak atas Kekayaan Industri (Industrial Property), yang berisikan:
1. Paten (Patent);
2. Merek (Trademark);
3. Desain Industri (Industrial Design);
4. Rahasia Dagang (Trade Secret);
5. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Integrated Circuit Lay-Out Design).
Perlu dicatat, bahwa pengenalan jenis HaKI di atas pada dasarnya berpangkal pada Konvensi Pembentukan WIPO (The World Intellectual Property Organization). WIPO adalah badan khusus PBB yang dibentuk dengan tujtuan untuk mengadministrasikan perjanjian/ persetujuan multilateral mengenai HaKI. Indonesia merupakan anggota WIPO dan meratifikasi konvensi tersebut dalam tahun 1979.
Issue lain adalah masalah penanggulangan Praktek Persaingan Curang. Banyak praktek negara-negara yang menunjukkan keengganan menerima jenis yang satu ini sebagai HaKI. Alasan mereka adalah, penilaian bahwa jenis ini tidak menampakkan karakter yang jelas sebagai karya intelektual. Selain itu, mereka yang enggan menerimanya sebagai HaKI juga berdalih bahwa lebih berharga memasukkan Trade Secret (terutama penemuan teknologi yang karena sebab dan pertimbangan tertentu dari penemu atau pemilik hak, tidak dimintakan paten) sebagai HaKI karena pertimbangan bisnis.
Beberapa negara yang menerima pencantuman penanggulangan Praktek Persaingan Curang sebagai HaKI, menolak masuknya Trade Secret karena alasan adanya unsur ketidakpastian. Mereka berpendapat adalah tidak wajar mengharuskan permberian perlindungan hukum untuk sesuatu yang tidak jelas dan keberadaannya tidak dapat diketahui oleh umum. Sekalipun demikian, pihak ini, akhirnya secara diam-diam menerima kehadiran Trade Secret, setelah diberikan arahan atas pertimbangan substantif sifatnya. Inti masalahnya bukan terletak pada kerahasiannya, tetapi pada informasi tentang teknologi atau bagian dari teknologi yang memiliki nilai ekonomi. Nama yang diberikan, berbagai macam misalnya; Confidential Information, Undisclosed Information (dalam rangka TRIPs/ Putaran Uruguay –GATT).
Sifat tradisional dari pengelompokkan HaKI tersebut, sebenarnya WIPO tidak melakukan pengelompokkan tetapi pengelompokkan tersebut berlangsung dalam praktek negara-negara dalam penyebaran pemahaman (sosialisasi) bidang HaKI. Pengelompokkan di atas dalam perkembangannya mungkin akan kehilangan validitas, tetapi sering digunakan untuk sekedar mempermudah cara penyampaian pemahaman mengenai HaKI.
Berikut ini adalah pembagian dengan penjelasan secara singkat dari beberapa bidang pengelompokan HaKI, antara lain :
V.1. Hak Cipta (Copyright)
V. 1. 1. Definisi
Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.12/1997 Hak Cipta didefinisikan sebagai ‘hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perUndang-undangan yang berlaku’.
Jadi unsur-unsur Hak Cipta dari definisi tersebut ada tiga, yaitu :
1. hak memperbanyak (reproduction right);
2. hak mengumumkan (Publishing right);
3. hak memberi ijin untuk memperbanyak dan mengumumkan (assignment right).
Dari definisi tersebut kita juga dapat melihat bahwa Hak Cipta mempunyai ‘pembatasan-pembatasan’ tertentu, bahwa pembatasan itu mempunyai arti sebagai berikut :
1. mengandung fungsi sosial : menjaga keseimbangan antara kepentingan individu (pencipta atau Pemilik / Pemegang Hak) dan kepentingan umum
2. orang lain boleh mengumumkan dan memperbanyak ciptaan seseorang tanpa diklasifikasikan sebagai pelanggar Hak Cipta (pasal 13 sampai 25 Undang-undang No.7 Tahun 1987)
3. sebagai pengecualian dari acuan pokok : mengumumkan dan memperbanyak ciptaan orang lain harus seijin si pencipta (pasal 13 sampai 25 Undang-undang No.7 Tahun 1987).
Ciptaan macam apakah yang dilindungi oleh Hak Cipta, atau tepatnya, apakah objek atau ruang lingkup dari Hak Cipta ' Yang menjadi objek pengaturan Hak Cipta adalah karya-karya cipta di bidang ilmu pengetahuan dan sastra (literary works) dan bidang seni (artistic works), dengan ruang lingkup misalnya koreografi tari, lukisan, lagu-lagu dan komposisi musik, ceramah / kuliah / pidato, acara televisi, film / movie (sinematografi), program komputer, karya arsitektur, peta, hasil penelitian dan karya tulis berupa naskah, diktat, buku, novel, dan banyak lagi, yang berkaitan dalam / dengan banyak sekali hal (untuk lebih jelasnya silakan melihat pasal 11 ayat (1) Undang-undang No.12/1997 yang memuat secara terperinci dan akan sangat menyita tempat apabila pasal ini dituliskan dalam tulisan ini); misalnya lagu-lagu yang dinyanyikan penyanyi A yang direkam dalam media kaset tentu berbeda pengaturannya dengan lagu-lagu yang sama yang dinyanyikan seorang penyanyi lain di sebuah kafe.
Telah dijelaskan bahwa HaKI termasuk Hak Cipta di dalamnya merupakan suatu hak milik, karena itu HaKI bersifat khusus karena hak tersebut hanya diberikan kepada pencipta atau Pemilik/ Pemegang Hak (selanjutnya disebut pencipta saja atau secara lengkap sesuai kepentingan) yang bersangkutan untuk dalam waktu tertentu memperoleh perlindungan hukum guna mengumumkan, memperbanyak, mengedarkan, dan lain-lain hasil karya ciptaannya, atau memberi ijin kepada orang lain untuk melaksanakan hal-hal tersebut. Hak Cipta sering pula dikatakan eksklusif, karena Hak Cipta melarang orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut tanpa seijin pencipta. Karena itu pada awalnya Hak Cipta sering dikatakan berasal dari paham individualisme.
V. 1. 2. Sifat Hak Cipta
Maka Hak Cipta dapat disimpulkan mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Hak Cipta adalah hak khusus :
dari definisi Hak Cipta dalam Undang-undang No.12/1997 disebutkan bahwa Hak Cipta adalah hak khusus ; diartikan sebagai hak khusus karena Hak Cipta hanya diberikan kepada pencipta atau Pemilik / Pemegang Hak, dan orang lain dilarang menggunakannya kecuali atas ijin pencipta selaku Pemilik Hak, atau orang yang menerima hak dari pencipta tersebut (Pemegang Hak), dan bahwa orang lain tersebut dikecualikan dari penggunaan hak tersebut.
2. Hak Cipta berkaitan dengan kepentingan umum :
Seperti telah dijelaskan bahwa Hak Cipta merupakan hak khusus yang istimewa, tetapi ada pembatasan-pembatasan tertentu yaitu bahwa Hak Cipta juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat yang juga turut memanfaatkan ciptaan seseorang. Secara umum, Hak Cipta atas suatu ciptaan tertentu yang dinilai penting demi kepentingan umum dibatasi penggunaannya sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Contoh : seorang mahasiswa boleh memfotokopi sebagian halaman dari sebuah buku tanpa ijin pengarangnya selama perbuatan tersebut adalah untuk kegiatan belajar / pendidikan yang bersangkutan dan tidak dikomersilkan.
3. Hak Cipta dapat beralih maupun dialihkan :
Seperti halnya bentuk-bentuk benda bergerak lainnya, Hak Cipta juga dapat beralih atau dialihkan, baik sebagian maupun dalam keseluruhannya (pasal 3 Undang-undang No.7/1987). Pengalihan dalam Hak Cipta ini dikenal dengan dua macam cara, yaitu :
a. ‘transfer/assignment’ : merupakan pengalihan Hak Cipta yang berupa pelepasan hak kepada pihak / orang lain, misalnya karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian jual-beli, dan sebagainya;
b. ‘license’ : merupakan pengalihan Hak Cipta dari suatu pihak kepada pihak lain berupa pemberian ijin / persetujuan untuk pemanfaatan Hak Cipta dalam jangka waktu tertentu, misalnya perjanjian lisensi.
4. Hak Cipta dapat dibagi atau diperinci (divisibility):
Berdasarkan praktek-praktek pelaksanaan Hak Cipta dan juga norma ‘Principle of Specification’ dalam Hak Cipta, maka Hak Cipta dibatasi oleh :
a. waktu : misalnya lama produksi suatu barang sekian tahun
b. jumlah : misalnya jumlah produksi barang sekian unit dalam satu tahun
c. geografis : contohnya sampul kaset bertuliskan “For Sale In Indonesia Only”, atau slogan “Bandung Euy”.
V. 1. 3. Hak-hak dalam Hak Cipta
Hak Cipta menurut literatur dan ilmu pengetahuan mempunyai dua hak, yaitu :
1. Hak Ekonomi (Economy Right) :
adalah hak yang mempunyai nilai uang, biasanya dapat dialihkan dan dieksploitasikan secara ekonomis. Jadi Hak Ekonomi merupakan hak memperbanyak dan mengumumkan, yang berlaku secara baku di dunia (tetapi tidak sama di tiap negara) mencakup misalnya hak mempertunjukkan / menyiarkan di depan umum, hak membuat reproduksi / terjemahan / adaptasi / aransemen / transformasi, dan sebagainya ; jadi, secara umum Hak Ekonomi adalah hak berupa :
a. hak memperbanyak; dan
b. hak mengumumkan.
2. Hak Moral (Moral Right) :
adalah hak yang timbul sebagai akibat sifat manunggal antara ciptaan dengan dengan diri si pencipta atau dapat berupa integritas dari si pencipta. Dalam ilmu hukum Hak Moral merupakan hak yang tidak dapat dialihkan. Hak Moral mempunyai dua asas, yaitu :
a. droit de paternite : pencipta berhak untuk mencantumkan namanya pada ciptaannya
b. droit au respet : pencipta berhak mengubah judul maupun maupun isi ciptaannya, jadi dia berhak mengajukan keberatan atas penyimpangan, perusakan, atau tindakan lainnya atas karyanya.
Jadi, secara umum Hak Moral adalah hak berupa :
hak mencantumkan nama;
hak mengubah judul dan / atau isi.
Jadi dapat dikatakan bahwa hanya Hak Ekonomi yang dapat dialihkan, sedangkan Hak Moral tidak dapat.
Selain Hak Ekonomi dan Hak Moral, ada ketentuan tertentu dalam Hak Cipta yang menimbulkan satu macam hak lagi yaitu Hak Menyewakan (rental right), yaitu hak pencipta atau Penerima Hak Cipta atas karya film dan program komputer maupun produser rekaman suara berupa hak untuk melarang orang atau pihak lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Hak Cipta juga mempunyai ‘hak-hak yang berkaitan dengan Hak Cipta’ (Neighboring Rights) seperti yang diatur dalam Konvensi Roma 1961, yaitu hak yang melindungi tiga kelompok, yaitu :
1. para pelaku (performers / penampil / penyanyi)
2. produser rekaman (producers of phonogram)
3. lembaga penyiaran (broadcasting organizations) ;
Neighboring Rights ini secara tersurat terdapat dalam pasal 43c Undang-undang No.12/1997.
V. 2. Paten (Patent)
V. 2. 1. Pengertian dan Teori Paten
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 14/2001 Paten didefinisikan sebagai ‘hak eksklusif yang diberikan Negara kepada penemu/inventor atau hasil penemuannya/invensinya di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya/invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada orang lain untuk melaksanakannya’. Jadi unsur-unsur Paten dari definisi tersebut ada dua, yaitu :
1. hak eksklusif yang diberikan negara kepada penemu (yaitu Pemegang Paten)
2. untuk melaksanakan :
a. (melaksanakan) sendiri penemuan tersebut: dalam literatur kegiatan ini diistilahkan sebagai ‘Paten Proses’, yaitu berupa hak penemu menggunakan proses produksi (production process) yang diberi Paten untukmembuat barang;
b. atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya; dalam literatur kegiatan ini diistilahkan sebagai ‘Paten Produk’, yaitu berupa hak penemu misalnya hak menjual, menggunakan, mengimpor, menyewakan, dan sebagainya hasil produksi (product) yang diberi Paten.
Secara formil Paten Proses dijelaskan dalam pasal 16 ayat (1) b Undang-undang No.14/2001 dan Paten Produk dijelaskan dalam pasal 17 ayat (1) a Undang-undang No.14/2001.
Menurut ketentuan WIPO, sebuah kegiatan yang pada akhirnya bertujuan untuk mempatenkan suatu penemuan pada intinya dibagi menjadi dua asas atau kegiatan utama, yaitu :
▪ ‘to exploit’ atau ‘exploiting’, yaitu melaksanakan satu atau lebih aktifitas berikut ini :
a. a. Paten Proses, yang diperinci secara garis besar sebagai berikut :
* menggunakan proses (to use)
* atau mengimpor produk yang dihasilkan melalui proses tersebut.
b. Paten Produk, yang diperinci secara garis besar sebagai berikut :
b. * membuat produk (to make)
c. * menggunakan / memanfaatkan produk (to use)
d. * menjual produk (to sell)
e. * mengimpor produk (to import).
▪ ‘To work’ (atau ‘working’), yang diartikan melaksanakan :
a. dalam hal Paten Proses : menggunakan proses (to use)
b. dalam hal Paten Produk : membuat produk (to make).
Kegiatan dalam ruang lingkup ‘to exploit’ dan ‘to work’ itulah yang disebut sebagai ‘Hak Melaksanakan Paten’. Khusus mengenai ‘to work’, WIPO telah memberi pengertian bahwa ‘to work’ diartikan sebagai kegiatan Pemegang Paten untuk melaksanakan langsung penemuan yang diberikan Paten itu di dalam negeri selama waktu tertentu. Jadi jelas bahwa Pemegang Paten memiliki hak khusus untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya antara lain dalam bentuk membuat, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk/ barang yang diberi Paten.
Penemuan macam apakah yang diatur atau dilindungi Paten ' Atau tepatnya, apakah objek perlindungan dari Paten ' Berbeda dengan objek Hak Cipta, maka objek dari Paten -- seperti telah dijelaskan di muka -- adalah penemuan-penemuan di bidang teknologi. Syaratnya adalah bahwa penemuan-penemuan tersebut harus :
1. bersifat baru (novelty); penemuan tersebut bukan merupakan bagian dari penemuan terdahulu atau penemuan yang telah ada sebelumnya
2. langkah inventif (inventive step);
3. dapat diterapkan dalam industri (industrial applicability).
Contoh penemuan banyak sekali kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kita ambil contoh sederhana misalnya sebuah jam dinding ; jam dinding tersebut, sebagai sebuah produk telah dipatenkan (baca :Paten-nya didaftarkan), dan ternyata mesin jamnya sendiri merupakan generasi mutakhir yang baru pertama kali diproduksi memakai tenaga baterai quartz, matahari solar dan gerak kinetik sehingga mesin jam tersebut juga dipatenkan. Untuk contoh lainnya masih banyak lagi di berbagai bidang misalnya bidang otomotif, farmasi, teknologi dirgantara, dan sebagainya.
V. 2. 2. Prinsip-prinsip Dasar Paten
Prinsip-prinsip Paten dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Paten merupakan hak eksklusif :
Sesuai definisi Paten pada Undang-undang No.14/2001 bahwa Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada penemu selama jangka waktu tertentu, maka Hak Paten dipegang oleh penemu (yang menjadi Pemegang Paten) sehingga seorang atau pihak lain tidak boleh melakukan sesuatu atas penemuan yang di-Paten-kan tersebut tanpa seijin Pemegang Paten. Hak Paten menjadi eksklusif. Karena hak khusus ini pula pada awalnya Paten -- seperti halnya Hak Cipta -- sering dianggap sebagai bagian dari paham individualisme.
2. Paten diberikan negara berdasarkan permintaan :
Permintaan itu diajukan oleh penemu atau (calon) Pemegang Paten berupa permintaan pendaftaran ke Kantor Paten. Bila tidak ada permintaan maka tidak ada Paten. Hanya penemu atau yang menerima lebih lanjut hak penemu yang berhak memperoleh Paten.
3. Paten diberikan untuk satu penemuan :
Setiap permintaan Paten hanya untuk satu penemuan, atau tepatnya satu penemuan tidak dapat dimintakan lebih dari satu Paten.
4. Penemuan harus baru, langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. Penemuan tersebut dapat berupa prosesnya maupun produk yang di-Paten-kan.
5. Paten dapat dialihkan :
Seperti halnya Hak Cipta dan hak milik perseorangan lainnya, Paten juga dapat dialihkan kepada orang atau pihak lain, yang menurut pasal 66 Undang-undang No.14/2001 dapat beralih untuk seluruhnya ataupun sebagian ; pengalihan itu misalnya karena :
a. pewarisan, hibah, wasiat : pengalihan yang berlangsung untuk seluruhnya harus disertai dengan dokumen Paten serta hak-hak lain yang berkaitan dengan Paten itu
b. perjanjian : harus dibuat dalam bentuk akta Notaris
c. karena sebab-sebab lain yang ditentukan Undang-undang.
6. Paten dapat dibatalkan dan dapat batal demi hukum :
Paten yang telah diberikan terhadap suatu penemuan dapat dibatalkan berdasarkan pengajuan gugatan baik oleh pihak-pihak tertentu lain melalui Pengadilan Niaga maupun oleh pihak-pihak tertentu karena hal-hal tertentu seperti yang diatur dalam pasal 91 Undang-undang No. 14/2001; selain itu Paten dapat dinyatakan batal demi hukum oleh Kantor Paten apabila Pemegang Paten tidak memenuhi kewajibannya membayar biaya biaya tahunan dalam jangka waktu yang telah ditentukan (pasal 88 Undang-undang No. 14/2001).
7. Paten berkaitan dengan kepentingan umum :
Pasal 75 Undang-undang No. 14/2001 menentukan bahwa apabila :
a. Pemegang paten tidak melaksanakan Paten (baca : penemuan yang diberi Paten) tersebut atau tidak dalam hal yang sewajarnya, selama 36 (tigapuluh enam) bulan sejak tanggal pemberian Paten (jo. pasal 17 ayat (1) Undang-undang No. 14/2001 yang menentukan bahwa Pemegang paten wajib membuat produk atau menggunakan proses yang diberi Paten di wilayah Indonesia)
b. (Juga apabila) Paten telah dilaksanakan di Indonesia oleh Pemegang paten (atau Pemegang Lisensi dalam hal Lisensi Wajib) tetapi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat
maka akan diberikan sanksi berupa pemberian ‘Lisensi Wajib’ kepada orang / pihak lain untuk melaksanakan Paten tersebut ; hal ini berarti Pemegang Paten selain mempunyai hak juga mempunyai kewajiban untuk melaksanakan Paten-nya supaya produk tersebut dapat memasyarakat. Pasal 5 ayat 2 Konvensi Paris menentukan bahwa Pemegang Paten wajib mengeksploitasi Paten-nya sesuai peraturan perUndang-undangan negara tempat ia mengimpor penemuan Paten-nya ; hal ini berarti bahwa Pemegang Paten wajib mengeksploitasi Paten-nya (dalam hal Paten impor).
8. Paten mensyaratkan kewajiban hukum bagi Pemegang Paten :
Dari pasal 17 ayat (1) Undang-undang No. 14/2001 di atas terlihat jelas bahwa Pemegang Paten juga mempunyai kewajiban hukum, selain tentunya hak. Contoh bentuk kewajiban Pemegang Paten lainnya adalah bahwa Pemegang Paten wajib membayar biaya (Paten) tahunan dalam jangka waktu tertentu, dan apabila ia tidak memenuhi kewajiban ini maka diberi sanksi yaitu Paten dinyatakan batal demi hukum oleh Kantor Paten (pasal 88 Undang-undang No. 14/2001).
9. Paten berkaitan dengan kepentingan nasional :
Karena Paten sangat berkaitan dengan bidang teknologi, yang menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan masa depan bangsa dan negara, maka negara mempunyai peran yang luas dan penting untuk mengatur Paten, salah satunya melalui peraturan perUndang-undangan. Pasal 17 Undang-undang No. 14/2001 mengenai hak Pemegang Paten untuk melaksanakan Paten sesungguhnya dapat dilihat dari dua sudut kepentingan, yaitu hak Pemegang Paten itu sendiri, dan kepentingan nasional atau pemerintah sebagai pembuat peraturan. Pasal 71 Undang-undang No. 14/2001 memuat ketentuan mengenai pelarangan pencantuman atau pemuatan -- dalam suatu perjanjian Paten -- hal-hal yang dapat merugikan kepentingan nasional atau membatasi kemampuan Indonesia menguasai teknologi.
V. 2. 3. Pembagian Paten
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kaidah-kaidah internasional dan Undang-undang No. 14/2001 membagi Paten ke dalam dua bagian yaitu Paten Proses dan Paten Produk, dalam hal pelaksanaan Paten. Tetapi dari bentuk penemuan yang di-Paten-kan, maka Paten dapat dibagi sebagai berikut :
1. Paten Sederhana (pasal 6, pasal 9, dan pasal 104 sampai pasal 108 Undang-undang No. 14/2001)
2. Paten Biasa, yang sesungguhnya adalah Paten yang sedang kita bicarakan, maka sesuai kaidah-kaidah internasional dan Undang-undang No. 14/2001 dikenal atau ditulis ‘Paten’ saja.
Paten Sederhana muncul karena mengingat banyaknya penemuan atau teknologi yang mempunyai nilai kegunaan praktis, baik dalam produk, alat penemuan maupun dalam hal pelaksanaannya setelah menjadi suatu produk.
V. 3. Merek (Trademark)
V. 3. 1. Pengertian Merek
Yang dimaksudkan dengan merek batasannya tercantum dalam Undang-undang No. 15/2001 yaitu pada Pasal 1 angka 1 yang berbunyi: “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.
Dari batasan tersebut, merek pada hakekatnya adalah suatu tanda. Akan tetapi agar tanda tersebut dapat diterima sebagai merek, harus memiliki daya pembeda. Yang dimaksudkan dengan memiliki daya pembeda adalah memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang dapat membedakan hasil perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain. Tidak dapat diterima sebagai merek apabila tanda tersebut sederhana seperti gambar “Sepotong Garis” atau tanda yang terlalu ruwet seperti gambar “Benang Kusut”.
V. 3. 2. Fungsi Merek
Merek digunakan untuk membedakan barang atau produksi satu perusahaan dengan barang atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis. Dengan demikian merek adalah tanda pengenal asal barang dan jasa yang bersangkutan dengan produsenya, dengan demikian menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya tersebut sewaktu diperdagangkan.
Fungsi merek dapat dilihat dari sudut produsen, pedagang dan konsumen. Dari pihak produsen merek digunakan untuk jaminan nilai hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, kemudian pemakaianya. Dari pihak pedagang, merek digunakan untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasaran. Dari pihak konsumen, merek digunakan untuk mengadakan pilihan barang yang akan dibeli.
Jadi merek memberikan jaminan nilai atau kualitas dari barang dan jasa yang bersangkutan. Hal ini tidak hanya berguna bagi produsen pemilik merek tersebut, tetapi juga juga memberikan perlindungan dan jaminan mutu barang kepada produsen. Selanjutnya merek juga berfungsi sebagai sarana promosi atau reklame bagi produsen atau pedagang atau pengusaha-pengusaha yang memperdagangkan barang atau jasa bersangkutan. Merek adalah simbol dengan mana pihak pedagang memperluas pasarannya dan juga mempertahankan pasaran tersebut.
V. 3. 3. Syarat Merek
Agar supaya suatu merek dapat diterima sebagai merek atau cap dagang, syarat mutlak dari padanya ialah bahwa mereka tersebut harus mempunyai daya pembeda yang cukup. Dengan kata lain, tanda yang dipakai itu haruslah sedemikian rupa, sehingga mempunyai cukup kekuatan untuk membedakan barang hasil produksi suatu perusahaan atau barang perdagangan dari seseorang daripada barang-barang orang lain. Barang-barang yang dibubuhi tanda atau merek itu harus dapat dibedakan daripada barang barang orang lain karena adanya merek itu. Jadi daya pembeda (distinctiveness) merupakan unsur yang pertama.
Dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang No. 15/2001 dikatakan bahwa merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembela dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.
Persyaratan-persyaratan untuk dapat dilakukan pendaftaran sebagai merek menurut Undang-undang No. 15/2001 adalah sebagaimana tercantum pada Pasal 5 Undang-undang tersebut, yaitu bahwasanya merek tidak dapat didaftarkan apabila mengandung salah satu unsur seperti :
a. Bertentangan dengan peraturan, agama, kesusilaan dan ketertiban umum.
b. Yang tidak memiliki daya pembeda sebagai merek. Misalnya, jika hanya berupa singkatan dan huruf-huruf atau angka-angka, dianggap kurang memiliki daya pembeda.
c. Yang merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang diminyakan pendaftaran. Contoh, kata “Kopi” atau “gambar kopi” untuk produk kopi.
d. Telah menjadi milik umum. Contoh dalam penjelasan Undang-undang No. 15/2001 pasal 5 yaitu tengkorak diatas dua tulang yang bersilang yang secara umum telah diketahui sebagai tanda bahaya. Oleh karena itu tidak dapat digunakan sebagai merek.
Suatu merek meskipun tidak memiliki unsur-unsur seperti diatas, namun apabila mereka tersebut memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek orang lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu, maka permintaan pendaftarannya akan ditolak oleh Kantor Merek berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 15/2001 . Pasal 6 ayat (1) a menentukan: “Permintaan pendaftaran merek ditolak oleh Kantor Merek apabila mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik orang lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang atau jasa yang sejenis”. Juga merek akan ditolak oleh Kantor Merek apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal untuk barang atau jasa yang sejenis serta terhadap indikasi geografis yang sudah dikenal.
Permintaan pendaftaran merek juga ditolak Kantor Merek, bila (Pasal 6 ayat 3):
a. merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, merek dan nama badan hukum yang dimiliki orang lain yang sudah terkenal kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak .
b. merupakan peniruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem dari negara atau lembaga nasiaonal maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
c. Merupakan peniruan atau menyerupai tanda cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan yang tertilis dari pihak yang berwenang.
V. 3. 4. Pengalihan Hak dan Lisensi Merek
a. Pengalihan Hak
Pemilik merek terdaftar dapat mengalihkan hak atas pendaftaran mereknya baik dengan cara pewarisan, wasiat, hibah, perjanjian maupun sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh Undang-undang. Pengalihan hak atas merek terdaftar wajib dimintakan pencatatan kepada kantor merk untuk dicatatkan dalam Daftar Umum Merek.
b. Lisensi
Undang-undang merek No.15 Tahun 2001 mengatur pula tentang penggunaan merek atas dasar perjanjian lisensi. Pengertian lisensi yang tertuang dalam Pasal 1 yang berbunyi: “Lisensi adalah ijin yang diberikan pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian pemberian hak untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.”
Dengan batasan lisensi seperti tersebut diatas maka yang dapat memberikan lisensi merek adalah pemilik yang sudah terdaftar pada Kantor Merek. Ketentuan ini merupakan konsekuensi dari sistem konstitutif yang dianut dalam Undang-undang No. 15/2001 dimana hak atas merek diberikan kepada pemilik merek terdaftar. Penggunaan merek terdaftar oleh penerima lisensi menurut Pasal 46 dianggap sebagai penggunaan merek di Indonesia oleh pemilik merek atau pemberi lisensi, sehingga apabila pemberi lisensi tidak menggunakan sendiri mereknya tidak terancam hapusnya kekuatan hukum pendaftarannya berdasarkan Pasal 62 ayat (2).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian lisensi merek agar dapat dicatat dalam Daftar Umum Merek, antara lain adalah :
1. Jenis barang atau jasa yang dilisensikan harus disebutkan secara jelas. Hal ini penting karena menurut Pasal 43 ayat (1) dimungkinkan pemberian lisensi hanya sebagian jenis barang atau jasa yang didaftarkan. Oleh karena itu untuk kepentingan kepastian pencatatan dalam daftar umum, maka penyebutan secara tegas barang atau jasa yang dilesensikan sangat diperlukan.
2. Jangka waktu berlakunya lisensi tidak boleh lebih lama dari jangka waktu berlakunya pendaftaran merek yang dilisensikan tersebut. Mengenai wilatayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila tidak diberlakukan wilayah Indonesia harus ditentukan secara tegas dalam perjanjian (Pasal 43 ayat (2) Undang-undang No. 15/2001 ).
3. Apabila penerima lisensi (licensee) menghendaki agar pemberi lisensi tidak boleh memakai atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk menggunakan merek tersebut, harus ditentukan secara tegas dalam perjanjian. Demikian pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 44 Undang-undang No.15 tahun 2001.
4. Apabila penerima lisensi menghendaki dapat memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga harus ditentukan secara tegas dalam perjanjian (Pasal 45 Undang-undang No. 15/2001).
5. Perjanjian lisensi tidak boleh atau dilarang memuat ketentuan yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian di Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasi dan mengembangkan teknologi pada umumnya.
Sebagai contoh yang bisa menghambat perekonomian Indonesia adalah apabila dimuat ketentuan yang mengharuskan licensee memakai bahan baku dari negara pemberi lisensi. Sedangkan yang dimaksudkan dengan pembatasan yang dapat menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi contohnya adalah dimuatnya ketentuan yang melarang licensee untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas mutu barang.
V. 4. Desain Industri (Industrial Design)
V. 4. 1. Pengertian
Istilah Industrial Designs diatur dalam pasal 25 dan pasal 26 TRIPs Agreement. Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian istilah yang dipakai adalah desain produk industri, sedangkan istilah industrial design atau design sering digunakan oleh Masyarakat Eropa dan Jepang.
Penyebutan nama Undang-Undang No.31 Tahun 2000 ini dengan nama Undang-undang Desain Industri lebih tepat sebagai padanan kata industrial design, daripada menyebutnya dengan nama Undang-undang tentang Desain Produk Industri. Dengan penamaan itu akan memudahkan dalam melakukan sosialisasi kepada kalangan pengusaha dan pendesain, disamping itu karena istilah desain industri lebih dekat dengan kata asingnya, dan lebih sering digunakan dalam berbagai literatur. Yang sebenarnya cukup penting adalah bagaimana definisi desain industri itu disusun agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
Definisi desain industri menurut pasal 1 Undang-Undang No.31 Tahun 2000 adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.
V. 4. 2. Prinsip Perlindungan Desain Industri
1. Prinsip pendaftaran.
Prinsip pemberian hak desain industri di dalam Undang-undang ini didasarkan pada prinsip bahwa hak desain industri itu adalah pengakuan kepemilikan oleh negara atas suatu desain industri seseorang harus mengajukan permohonan pendaftaran hak itu secara tertulis kepada negara yaitu melalui Direktorat Jenderal HaKI. Artinya walaupun seseorang mendesain suatu produk, tidak akan mendapat perlindungan jika desainnya tersebut tidak didaftarkan. Bahkan menurut Undang-undang ini pemberian hak desain industri haknya diberikan kepada pendaftaran pertama (first to file) yaitu orang yang pertama mengajukan permohonan hak atas desain industri bukan berdasarkan kepada orang yang pertama mendesain.
Prinsip Kebaruan
Desain industri hanya diberikan untuk desain yang baru. Inilah yang dikenal dengan prinsip kebaruan. Suatu desain industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan, baik pengungkapan dalam media cetak atau elektronika maupun keikutsertaan dalam suatu pameran yang telah ada sebelumnya yaitu pengungkapan sebelum tanggal penerimaan atau sebelum tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengan hak prioritas telah diumumkan atau digunakan di Indonesia.
Asas kebaruan dalam desain industri ini berbeda dengan prinsip orisinalitas yang dikenal dalam hak cipta. Pengertian baru atau kebaruan ditetapkan dengan pendaftaran yang pertama kali diajukan dan pada saat diajukan itu tidak ada pihak lain yang membuktikan bahwa pendaftaran tersebut tidak baru atau telah ada pengungkapan atau publikasi sebelumnya baik tertulis atau tidak tertulis. Sedangkan orisinal berarti sesuatu yang langsung berasal dari sumber asal orang yang membuat atau yang menciptakan atau yang langsung dikemukakan oleh orang yang dapat membuktikan sumber aslinya.
Suatu desain industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6 bulan sebelum tanggal penerimaan permohonan, desain industri tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran nasional maupun internasional di Indonesia atau di luar Indonesia oleh pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penelitian atau pengembangan (pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 2000).
Jangka waktu perlindungan desain industri diberikan untuk 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan.
V. 4. 3. Pemegang Hak Desain Industri
Secara tegas Undang-undang ini mengatur mengenai siapa yang dapat menjadi subyek pemegang hak desain industri (pasal 6 Undang-Undang No.31 Tahun 2000).
Pertama; yang berhak memperoleh hak desain industri adalah pendesain atau yang menerima hak tersebut dari pendesain.
Kedua; Dalam hal pendesain terdiri dari beberapa orang maka hak desain industri itu diberikan kepada mereka secara bersama kecuali diperjanjikan lain oleh para pendesain tersebut.
Jika suatu desain industri dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya atau desain industri yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas, maka pemegang desain industri adalah pihak yang untuk dan atau dalam dinasnya desain industri itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pendesain apabila penggunaan desain industri itu diperluas ke luar hubungan dinas. Hubungan dinas yang dimaksud di sini adalah hubungan antara pegawai dengan instansinya (instansi pemerintah).
Akan tetapi lain pihak jika suatu desain industri dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, maka pihak yang membuat desain industri itu dianggap sebagai pendesain dan pemegang hak desain kecuali diperjanjikan lain antara kedua pihak. Hubungan kerja yang dimaksud di sini adalah hubungan kerja dalam lingkungan swasta. Ketentuan ini menegaskan adanya kepentingan publik sekaligus kepentingan keperdataan dalam kaitan dengan hak desain industri ini.
V. 5. Rahasia Dagang (Trade Secret)
V. 5. 1. Tinjauan Umum
Hukum rahasia dagang terbentuk dari berbagai kasus yang mengandung elemen kontrak, kejujuran kekayaan, kewajiban berdasarkan kepercayaan dan etikad baik. Di negara-negara anglo saxon system, informasi dianggap sebagai kekayaan dan pelanggarannya diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum bersegi khusus yang disebut The action for breach of confidence. Di negara-negara civil law system pelanggaran serupa itu hanya dianggap sebagai perbuatan melawan hukum biasa.
Secara konsep Rahasia Dagang adalah informasi termasuk di dalamnya formula, pola, kumpulan data/ informasi., program, alat, metode/ cara, teknik, proses) yang memiliki nilai ekonomis karena tidak diketahui oleh umum dan telah diupayakan Tetap Dijaga Kerahasiannya.
Dari segi tujuannya, perlindungan hukum rahasia dagang dimaksudkan untuk memacu investasi dan pemanfaatan informasi yang menjamin keuntungan dalam waktu lama sebaik keuntungan jangka pendek. Dalam Common Law System, dasar bagi timbulnya kewajiban menjaga kerahasiaan selalu dikaitkan dengan hubungan antara pihak-pihak dan keadaan ketika informasi diterima. Sedangkan pendekatan Eropa Kontinental Sistem menekankan pada upaya-upaya yang telah dilakukan pemilik dalam menjaga kerahasiaan. Dalam kaitan ini terdapat beberapa teori dasar perlindungan rahasia dagang, yaitu teori informasi sebagai kekayaan/ asset, teori kontrak dan teori perjanjian pembatasan.
Perlindungan rahasia dagang dalam persetujuan TRIPs berpangkal pada upaya menjamin perlindungan yang efektif untuk mengatasi persaingan curang (Pasal 10 bis Konvensi Paris). Dalam pasal 39 ayat (1) Persetujuan TRIPs ditentukan kewajiban para anggota untuk mengatur perlindungan terhadap persaingan curang khususnya bagi informasi yang dirahasiakan dan/atau data informasi yang diserahkan pada pemerintah atau badan/ lembaga pemerintah.
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.30 Tahun 2000 mengatur definisi dan persyaratan suatu rahasia dagang yang berhak mendapat perlindungan yang menyatakan bahwa rahasia dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dipertahankan kerahasiannya melalui upaya-upaya sebagaimana mestinya. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang bersifat harmoni atau banyak diterapkan oleh negara-negara lain, walaupun ditulis dalam berbagai variasi gaya bahasa. Namun, unsur-unsur dalam rahasia dagang itu tetap sama. Dalam hal ini, tidak ada pendaftaran rahasia dagang di Direktorat Jenderal HaKI. Hanya perjanjian lisensinya yang didaftarkan di Direktorat Jenderal HaKI.
Ruang lingkup rahasia dagang dalam Undang-undang ini juga mengatur tentang persyaratan informasi sebagai berikut:
❖ Informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi yang diketahui secara terbats oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat;
❖ Informasi dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegaitan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi;
❖ Informasi dianggap dijaga kerahasiaanya apabila pemilik atau pihak-pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut.
V. 5. 2. Lisensi
Selain dapat dialihkan, atau disewakan, hak atas Rahasia Dagang dapat juga dilisensikan yaitu dengan cara memberikan persetujuan dengan pihak lain untuk membuat, menjual, menyewakan, menyerahkan, memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan hasil produksi yang menggunakan rahasia dagang, atau desain industri yang diatur dalam perjanjian lisensi.
Perjanjian lisensi yang dicatat itu akan diumumkan dalam Berita Resmi masing-masing. Tidak dicatatkannya perjanjian lisensi itu akan mengakibatkan tidak menimbulkan konsekuensi hukum bagi pihak ketiga.
Terdapat klausa larangan dalam perjanjian lisensi yang diatur masing-masing dalam Undang-undang ini yang menyatakan bahwa perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan baik yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
V. 6. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
(Integrated Circuit Lay-Out Design)
V. 6. 1. Tinjauan Umum
Hambatan serta persoalan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang dibandingkan dengan negara-negara maju berkaitan dengan penemuan (invention) baru adalah sangat terkait dengan tingkat pendidikan, kemajuan teknologi, tingkat kesejahteraan, pembiayaan/modal, serta faktor budaya dan kesadaran masyarakat akan pentingnya perlindungan terhadap HaKI secara keseluruhan ditinjau dari negara-negara berkembang menjadi sangat jauh tertinggal. Persoalan yang kita hadapi adalah sebagai negara anggota yang telah menandatangani perjanjian WTO, bagaimana Indonesia dan merumuskan Undang-undang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Dalam pasal 1 Undang-Undang No.32 tahun 2000 rumusannya sebagai berikut:
Sirkuit terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang didalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu didalam sebuah bahan semi konduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik.
Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua terkoreksi dalam suatu sirkuit terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu.
Dalam hubungan dengan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, persetujuan TRIP’s memuat syarat-syarat minimum pengaturan yang selanjutnya di kembangkan sendiri oleh setiap negara anggota. Persetujuan TRIP’s juga mendasarkan pada Treaty on Intellectual Property of Integrated Circuit (Washington Treaty).
Perundingan hukum terhadap Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu menganut asas “orisinalitas”. Dianggap sebagai orisinil apabila desain tersebut merupakan hasil upaya intelektual pendesain dan tidak merupakan suatu hal yang telah bersifat umum bagi para pendesain. Selain itu, Desain Tata Letak sebuah Sirkuit Terpadu dalam bentuk setengah jadi dapat berfungsi secara elektronis.
V. 6. 2. Jangka Waktu Perlindungan
Perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diberikan kepada pemegang hak untuk selama waktu 10 tahun sejak pertama kali desain tersebut dieksploitasi secara komersial dimanapun atau sejak tanggal penerimaan.
Dalam hal Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu telah dieksploitasi secara komersial, permohonan harus diajukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pertama kali dieksploitasi.
V. 6. 3. Pemegang Hak
Yang berhak untuk memperoleh hak atas Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat terdiri atas seorang atau atas beberapa orang secara bersama, kecuali jika diperjanjian lain. Selain tugas Undang-undang mengatur mengenai siapa yang dapat menjadi subjek atau pemegang hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang berhak memperoleh hak Desain Industri adalah pendesain atau yang menerima hak tersebut dari pendesain.
Jika dalam hal Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya atau desain yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas maka pemegang hak adalah pihak yang untuk itu dan atau dalam dinasnya desain industri itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pendesaian apabila penggunaan desain Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu itu diperluas keluar hubungan dinas. Hubungan dinas yang dimaksud disini adalah hubungan antara pegawai dengan instansinya (instansi pemerintah).
Lain hal jika suatu desain Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, maka pihak yang membuat Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu itu dianggap sebagai pendesain dan pemegang hak desain kecuali diperjanjikan lain antara kedua pihak. Hubungan kerja yang dimaksudkan disini adalah hubungan kerja dalam lingkungan swasta. Kaedah ini menegaskan adanya kepentingan publik sekaligus kepentingan keperdataan dalam kaitan dengan hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu ini.
V. 6. 4. Prinsip Dasar Perlindungan
1. Prinsip Pendaftaran.
Prinsip pendaftaran hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dalam Undag-undang No. 32 Tahun 2000 ini didasarkan pada prinsip bahwa desain Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah pemberian kepemilikan oleh negara atas suatu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu kepada pendesain. Oleh karena itu untuk mendapatkan hak atas suatu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu pemohon harus mengajukan permohonan pendaftaran hak itu secara tertulis kepada negara melalui Direktorat Jenderal HAKI.
Hal ini berarti walaupun seseorang mendesain suatu produk ia tidak akan mendapatkan perlindungan jika desainnya tersebut tidak didaftarkan. Karena secara jelas Undang-undang menjelaskan bahwa hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diberikan atas dasar permohonan.
2. Prinsip Orisinalitas.
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu hanya diberikan kepada desain yang orisinil. Suatu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dianggap orisinil apabila desain merupakan hasil karya mandiri pendesain dan pada saat Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu tersebut dibuat tidam merupakan sesuatu yang umum bagi pendesain. Hal ini berarti desain tersebut merupakan hasil karya pendesain itu sendiri dan bukan merupakan jiplakan/tiruan dari karya pendesain yang lain.
Prinsip orisinil dalam Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu ini berbeda dengan prinsip kebaruan dalam desain industri. Prinsip kebaruan diartikan dengan ketetapan dalam pendaftaran yang pertama kali diajukan dan pada saat diajukan itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan bahwa pendaftaran tersebut tidak baru atau telah ada pengungkapan atau publikasi baik tertulis ataupun tidak tertulis sebelumnya.
VI. Persetujuan Internasional (Aspek HaKI)
Perjanjian internasional yang mengatur perlindungan HaKI telah ada sebelum GATT 1994 dalam bentuk berbagai konvensi. Namun demikian, dengan diintegrasikannya TRIP’s masuk dalam kerangka WTO, penegakkan hukum Intellectual Property Right dalam industri dan perdagangan internasional khususnya, menjadi lebih berbobot.
Beberapa alasan bahwa penegakkan hukum HAKI lebih berbobot setelah masuk dalam ruang lingkup WTO adalah:
1. WTO dengan GATT 1994 dapat menawarkan berbagai konsesi berupa paket menarik dalam bentuk penurunan tarip bea masuk dan akses pasar berbagai konsesi atas perlindungan HaKI oleh negara-negara berkembang yang selama waktu itu agak alergi terhadap penegakan HaKI.
2. TRIP’s dalam GATT 1994 dengan WTO nya mengikat secara hukum bagi seluruh anggotanya. Mekanisme penegakkan hukum IPR sebagaimana diberikan WTO, tidak mungkin tersedia di organisasi internasional HaKI seperti WIPO. Prosedur penegakkan hukum bisa berbeda-beda di setiap negara, sedangkan di WTO paling tidak telah tersedia harmonisasi penyelesaian sengketa dan ketentuan mengenai penegakkan hukum di bidang HaKI.
Sebagaimana diketahui ruang lingkup pengaturan HaKI dalam TRIP’s adalah:
1. Hak Cipta dan hak terkait lainnya;
2. Merek;
3. Paten;
4. Indikasi Geografis;
5. Desain Industri;
6. Rahasia Dagang;
7. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
8. Pengendalian praktek anti persaingan dalam perjanjian lisensi.
Dengan telah dikeluarkannya 3 (tiga) Undang-undang yang mengatur Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang, serta penyempurnaan Undang-undang Paten dan Merek maka secara bertahap Indonesia telah merevisi sekaligus membuat dan memperkaya peraturan perundang-undangan di bidang HaKI yang berarti Indonesia secara konsisten telah memenuhi komitmen artikel 65 dan 66 mengenai masa transisi.
Keanggotaan Indonesia dalam forum WTO telah hampir berlangsung selama 7 (tujuh) tahun. Kita tidak perlu lagi menganalisa “cost and benefit” menjadi anggota WTO karena hal semacam itu sudah menjadi bagian dari sejarah masa lampau.
Hal pertama yang perlu disadari bahwa dengan keikutsertaan Indonesia dalam WTO yang berarti posisi Indonesia adalah sama dengan negara lain, anggota WTO yang berarti harus siap dalam berkompetisi dalam pasar global. Dengan telah disempurnakannya Undang-undang Hak Cipta, Paten dan Merek serta dengan telah diundangkannya 3 (tiga) Undang-undang baru di bidang HaKI, bukan berarti langsung masalah HaKI menjadi selesai. Masalah yang justru menunggu di depan kita adalah tanggung jawab yang lebih berat setelah produk perUndang-undangan tersebut terbentuk, yaitu dalam proses penegakkan hukum atau bagaimana caranya agar yang dibuat tersebut dapat berlaku secara efektif.
Melihat keadaan seperti ini, jelas suatu yang beralasan bila sejak selesainya Putaran Uruguay, yang dimulai sejak tahun 1986 dan berakhir dengan perjanjian Marrakesh 1994, Hak atas Kekayaan Intelektual selalu menjadi topik dalam sutu perjanjian internasional tentang ekonomi. Salah satu bentuk nyata adalah bahwa permasalahan HaKI ini oleh Amerika Serikat harus ditempatkan dalam naungan General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Gagasan agar pertemuan-pertemuan GATT juga mempermasalahkan HaKI timbul karena desakan Amerika Serikat yang menilai World Intellectual Property Organization (WIPO) tidak mampu lagi melindungi HaKI warga negara Amerika Serikat di dunia internasional.
Adanya desakan politis seperti ini menujukkan bahwa kita harus mengakui WIPO memang memiliki beberapa kelemahan. Lembaga ini belum bisa mengadaptasi perubahan struktur perdagangan internasional, tingkat inovasi ekonomi, dan teknologi. WIPO tidak dapat memberlakukan ketentuan-ketentuan internasional terhadap bukan anggotanya. Selain itu, WIPO tidak memiliki mekanisme untuk berkonsultasi menyelesaikan dan melaksanakan penyelesaian sengketa yang timbul juga tidak mempunyai mekanisme untuk mengendalikan dan menghukum pelaku pelanggaran terhadap HaKI baik pelakunya negara anggota WIPO ataupun negara yang bukan anggotanya.
Berbeda dengan GATT, WIPO kelihatannya menawarkan banyak harapan karena sejak awal secara lambat laun telah mulai membentuk lembaga penyelesaian sengketa. Dilain pihak negara-negara berkembang berpendapat bahwa pembicara HaKI dalam GATT itu tidaklah tepat. Kalangan negara berkembang menganut pendirian bahwa masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual ini sebaiknya tetap dipercayakan kepada WIPO, bukan kepada GATT yang dipandang kurang kompeten untuk mengatur hal tersebut. Hal ini disebabkan karena GATT tidak mempunyai pengalaman untuk menentukan apakah sesuatu hal tertentu dianggap peniruan atau tidak. sebaliknya, WIPO dengan mekanisme khusus adalah instansi yang paling tepat untuk memberikan perlindungan mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual. Bahkan sejak bulan September 1993, dalam sidang WIPO di Jenewa, telah dibentuk Pusat Arbitrasi WIPO (WIPO Arbitration Centre), yang mulai beroperasi bulan Oktober 1994.
Walaupun terdapat perbedaan keinginan di antara negara-negara industri maju dan negara-negara berkembang perihal badan internasional yang menangani HaKI di dalam perundingan GATT, pada akhir pembicaraan mengenai Persetujuan Tentang Aspek-Aspek Dagang Hak atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property) para anggota tetap menyatakan tekad untuk menciptakan hubungan yang saling mendukung antara Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan WIPO (World Intellectual Property Organization) serta organisasi internasional lain di bidang HaKI.
Hal ini dapat dilihat dari pernyataan tekad para negara anggota di dalam persetujuan tersebut, yang menyatakan, “Desiring to establish a mutually supportive relationship between the WTO and the World Intellectual Property Organization (referred to in this Agreement as “WIPO” as well as other relevant internasional organization).”
Demikian juga Indonesia, walupun terjadi perdebatan antara setuju dan tidak setuju dari negara-negara berkembang terhadap keberadaan GATT untuk menangani masalah Hak atas Kekayaan Intelektual, sebagai salah satu negara penandatangan Putaran Uruguay (Uruguay Round), telah meratifikasi paket tersebut (TRIPs) dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade) dimana perjanjian TRIPs ada didalamnya.
-----------------------
Perkembangan
Hak atas Kekayaan Intelektual
Sebagai Aset Intelektual

