代写范文

留学资讯

写作技巧

论文代写专题

服务承诺

资金托管
原创保证
实力保障
24小时客服
使命必达

51Due提供Essay,Paper,Report,Assignment等学科作业的代写与辅导,同时涵盖Personal Statement,转学申请等留学文书代写。

51Due将让你达成学业目标
51Due将让你达成学业目标
51Due将让你达成学业目标
51Due将让你达成学业目标

私人订制你的未来职场 世界名企,高端行业岗位等 在新的起点上实现更高水平的发展

积累工作经验
多元化文化交流
专业实操技能
建立人际资源圈

Kebijakan_Luar_Negeri_Iran_Pasca_Runtuhnya_Rezim_Saddam_Husein

2013-11-13 来源: 类别: 更多范文

LATAR BELAKANG MASALAH Iran dan Irak memiliki sejarah hubungan yang panjang. Puncak memanasnya hubungan Iran dan Irak adalah ketika terjadinya Perang Teluk antara kedua negara ini pada tahun 1980-1988. Pada masa perang ini dapat dikatakan juga sebagai masa keemasan dari Saddam Husein yang mana pada saat itu Saddam lah yang memegang tampuk kepemimpinan tertinggi di Irak. Hubungan Iran-Irak selama dua dekade terakhir dipenuhi hawa permusuhan dan saling curiga. Namun, perlahan, hubungan yang tegang itu mulai mencair seiring dengan naiknya para pemimpin Syiah Irak ke tampuk kekuasaan pemerintahan di negara itu. Sejarah masa lalu kedua negara sesungguhnya tidak terlepas dari dua aliran besar dalam Islam yang dikenal dengan Sunni dan Syiah. Kedua aliran itu di banyak kelompok masyarakat lebih dikenal ketimbang beberapa aliran besar lainnya dalam Islam. Konflik Iran-Irak juga tidak terlepas dari sejarah wilayah itu pada masa kerajaan Mesopotamia hingga kekaisaran Ottoman. Antara tahun 1555 dan 1918, menurut Wikipedia, kerajaan Persia dan kekaisaran Ottoman telah menandatangani tidak kurang dari 18 perjanjian mengenai batas kedua wilayah yang terus dipersengketakan. Persengketaan batas negara itu terus berlanjut hingga kemudian pada 1975, atas desakan AS, Iran dan Irak menandatangani kesepakatan mengenai batas negara di Algiers, Aljazair. Sejak itu hubungan kedua pemerintahan agak membaik pada 1978, ketika agen-agen Iran di Irak berhasil membongkar komplotan pro-Uni Soviet yang merencanakan kudeta terhadap Pemerintah Irak. Akan tetapi, hubungan kedua negara memburuk lagi ketika Saddam Hussein berkuasa dan kembali mengungkit masa lalu. Puncaknya, pasukan Irak kemudian menyerbu masuk ke Iran pada 22 September 1980. Selain masalah sengketa perbatasan yang kembali diungkit, Saddam ketika itu juga mengkhawatirkan perlawanan warga Syiah yang notabene mayoritas di Irak. Warga Syiah Irak kian aktif menuntut hak-haknya, terinspirasi oleh keberhasilan revolusi di Iran. Perang Iran-Irak yang berlangsung hingga 1988 menewaskan ratusan ribu warga dari kedua belah pihak. Kekuatan angkatan bersenjata Irak yang saat itu lebih menonjol dilawan dengan keberanian dan perlawanan yang tinggi dari bangsa Iran.Konflik kedua negara semakin memburuk dengan keterlibatan AS membantu Irak. Perang juga meluas hingga penghancuran kapal-kapal pengangkut minyak, yang menjadi sumber penghasilan bagi kedua negara tersebut. Akhirnya setelah sama-sama babak belur, Iran dan Irak menyepakati untuk berdamai pada 20 Agustus 1988. Meski di tataran formal pemerintahan kedua negara telah menghentikan perang, di dalam negeri Irak sendiri perebutan pengaruh tidak pernah berhenti antara warga Syiah dan warga Sunni yang menduduki pemerintahan Irak di bawah Saddam. Oleh karena itulah, ketika AS memutuskan menginvasi Irak dengan mengajak beberapa sekutunya dan menjatuhkan Saddam Hussein, peta sosial-politik di Irak pun langsung berubah. Warga Syiah kemudian menuntut haknya sebagai mayoritas di Irak. Di sisi lain, AS dan sekutunya juga tidak punya pilihan lain karena mengkhawatirkan perlawanan sebagian besar warga Sunni yang sangat marah dengan dijatuhkan dan dieksekusinya Saddam Hussein. Kini, Irak dipimpin oleh Nuri al-Maliki yang jelas-jelas Syiah. Presiden Irak Jalal Talabani pun meski seorang Kurdi, tetapi fasih berbahasa Farsi (Iran). Tidak mengherankan bila kemudian hubungan Iran dan Irak kini membaik di tataran yang jauh lebih dalam karena pertemuan kembali warga Syiah yang terpisahkan dua negara. Tinggallah kini AS yang bingung menghadapi menguatnya Syiah di kawasan. * Pertanyaan Masalah : Bagaimana pola hubungan Irak dengan Iran pasca runtuhnya rezim Saddam Husein' PEMBAHASAN * Sekilas Tentang Saddam Husein Saddam Husein lahir pada tahun 1937di Tikrit. Kehidupan di Desanya teramat sangat keras, pada masa kecilnya saddam seringkali keluar rumah dengan membekali diri dengan senjata sebagai alat bela diri dikarenakan seringkali terjadi bentrokan antar dengan teman sebayanya. Pada usia 16 Tahun Saddam sudah menjadi ketua geng jalanan. Pada Usia 17 Tahun Saddam membunuh salah seorang saingan pamanya hingga dipenjara 6 bulan. Pada Usia 19 Tahun sudah berkomplot untuk menumbangkan monarki yang berkuasa dan pada usia 21 tahun melakukan percobaan pembunuhan dengan menembak perdana menteri Irak dengan senapan Mesin. Pada usia 20 tahun ia terjun dalam dunia politik dengan bergabung dalam Partai Baath. Saddam memainkan peran penting dalam kudeta yang dilakukan Partai Baath terhadap Presiden Irak saat itu, Abdul Rahman Arif pada tahun 1968. Kudeta tersebut dipimpin oleh ketua Partai Baath, Hasan Al Bakr, yang setelah kudeta mengangkat diri sebagai presiden. Saddam pun diangkat sebagai wakil Hasan Al Bakr dan menduduki posisi itu selama 15 tahun. Selama itu pula, Saddam melakukan berbagai aksi represif terhadap rakyat Irak. Setelah semakin berkuasa, Sadam pun menyingkirkan Hasan Al Bakr dan merebut posisi sebagai presiden dan pemimpin Partai Baath. Tak lama setelah Sadam menjadi pemimpin partai Baath, dia melakukan pembersihan besar-besaran dalam tubuh partai. Para penentangnya dibunuh. Para ulama penentang Saddam juga dibunuh atau disiksa dalam penjara. Selama 35 tahun menjadi pemimpin Partai Baath, dia melakukan berbagai pembunuhan massal terhadap rakyat Kurdi di utara Irak dan rakyat Syiah di selatan Irak. Sebagian sejarawan meyakini, sejak sebelum kudeta tahun 1968, sesungguhnya Saddam sudah menjalin hubungan dengan AS. Menurut mereka, Saddam setelah pembunuhan terhadap Abdul Karim Qasim tahun 1959 melarikan ke Mesir dan di negara ini dia menjalin hubungan dengan agen-agen CIA. Empat tahun kemudian, Saddam pun kembali ke Irak. Pelayanan penuh Saddam terhadap Gedung Putih mulai terlihat mencolok di hadapan opini umum sejak dia menjadi wakil presiden Hasan Al Bakr. Setelah dia menyingkirkan Hasan Al Bakr yang tak lain sepupunya sendiri, dan meraih tampuk kepresidenan, Saddam semakin meningkatkan kerjasamanya dengan Gedung Putih. Pelayanan terbesar yang dilakukan Saddam terhadap kehendak para penguasa AS adalah invasinya ke Iran pada tahun 1980, segera setelah kemenangan revolusi Islam Iran. Revolusi Islam Iran telah menumbangkan raja boneka Amerika, Shah Pahlevi. AS juga tidak bisa lagi mengeksploitasi kekayaan alam Iran sebagaimana yang telah dilakukannya selama era pemerintahan Pahlevi. Itulah sebabnya AS mendalangi serangan Saddam terhadap Iran. Selain memberikan bantuan politik dan dana, negara-negara Barat itu juga membantu Saddam dalam memproduksi senjata pembunuh massal yang digunakan dalam menyerang Iran. Menurut data, selama era perang itu, AS dan negara-negara Barat lain, serta negara-negara Arab, telah memberikan bantuan sebesar 120 milyar dollar kepada Saddam. Periode perang delapan tahun Irak-Iran adalah periode keemasan hubungan antara Saddam dan AS. Donald Rumsfeld pada tahun 1983 datang ke Irak untuk berjumpa dengan Saddam dan menjanjikan bantuan keuangan. Robert Fisk wartawan terkemuka dari AS menulis, “Pada zaman ketika Irak membeli gas kimia dari AS, saya dengan mata kepala sendiri melihat bahwa Rumsfeld bersalaman dengan Saddam. Selama perang delapan tahun Iran-Irak itu, bangsa Iran telah kehilangan nyawa puluhan ribu warganya, mengalami kerugian materil ratusan milyar dollar, dan mengalami ketertinggalan pembangunan selama bertahun-tahun. Selama perang, Saddam juga menggunakan senjata dan bom kimia yang menyebabkan kematian puluhan ribu orang. Hari ini, terdapat sekitar 45.000 orang Iran yang masih hidup dengan menanggung berbagai penyakit akibat terkontaminasi senjata kimia. Setiap tahunnya, pemerintah Iran mengeluarkan dana 37 juta dollar AS untuk merawat para korban senjata kimia itu, namun tiap tahun pula banyak di antara mereka yang akhirnya gugur syahid. Namun, berkat perlindungan Tuhan dan kegigihan bangsa Iran dalam membela tanah air mereka, usaha Saddam dan negara-negara Barat untuk menganeksasi Iran akhirnya menemui kegagalan. Setelah kalah dalam usahanya untuk menguasai Iran, Saddam pun mulai dikhianati oleh sekutunya itu. Atas lampu hijau dari AS, pada tahun 1991 Saddam menyerang Kuwait dengan tujuan menguasai ladang-ladang minyak di negeri itu. Namun, segera setelah serbuan Saddam ke Kuwait, AS malah menggalang pasukan multinasional untuk membela Kuwait. Tentu saja, pasukan Saddam yang memang sudah lemah karena delapan tahun bertempur dengan Iran, dengan mudah bisa dipukul mundur oleh AS dan sekutu-sekutunya. Kelemahan posisi Saddam dimanfaatkan oleh sebagian bangsa Irak untuk memberontak dari diktator yang selama ini sudah menyengsarakan mereka itu. Namun, lagi-lagi, Saddam berkonspirasi dengan AS. Tiba-tiba serangan pasukan AS terhadap Saddam dihentikan sehingga Saddam bisa berkonsentrasi merepresi warganya yang memberontak. Namun tak lama kemudian, AS memimpin gerakan internasional untuk mengembargo Irak. Tentu saja, yang sengsara akibat embargo ini adalah rakyat kecil. Mereka kekurangan makan dan obat-obatan sementara Saddam dan para penguasa tetap hidup sejahtera. Setelah 12 tahun menderita akibat embargo itu, rakyat Irak pada tahun 2003 menghadapi penderitaan baru lagi, yaitu agresi AS ke wilayah mereka dengan alasan untuk menggulingkan Saddam. Setelah Saddam terguling pun, hingga hari ini AS dan Inggris tetap bercokol di negeri itu dan menimpakan penderitaan tak terkira bagi rakyat Irak. Berbagai aksi AS ini, baik ketika mendukung Saddam dalam Perang Iran-Irak, membela Kuwait dalam Perang Teluk, lalu kembali mendukung Saddam dalam menghentikan pemberontakan warga Irak, kemudian datang ke Irak untuk menggulingkan Saddam, menunjukkan jatidiri para penguasa AS. Mereka sama sekali tidak memikirkan apapun selain kepentingan mereka sendiri. Dalam Perang Teluk, misalnya, AS berbalik memusuhi Saddam dengan tujuan menekan negara-negara Teluk. Akibat perang Teluk, negara-negara Teluk banyak yang membeli senjata dari AS karena takut diserang Saddam. Kuwait pun dipaksa membiayai peralatan perang yang didatangkan AS. Semua itu menunjukkan bahwa AS sengaja mendorong Saddam menyerang Kuwait demi keuntungan pabrik-pabrik senjata milik AS. Demi meraih keuntungan pribadi, para penguasa AS menggunakan berbagai macam cara, dan salah satunya, mencari sekutu seperti Saddam Husein. Saddam Husein yang dibutakan oleh hawa nafsu dan ambisinya, tunduk patuh melayani keinginan AS. Kemudian, setelah Saddam dianggap tidak berguna lagi, AS pun berusaha mencari simpati rakyat Irak dengan menggulingkannya. Namun, ketika situasi di Irak menjadi semakin tidak terkontrol oleh AS, AS pun melakukan langkah lain, dengan menuduh Iran di balik segala kekacauan di Irak. Eksekusi Saddam pun dimanfaatkan untuk menekan Iran. Saddam diposisikan sebagai pahlawan Arab dan dengan cara itu, sentimen antar mazhab dan anti Iran dibesar-besarkan. Melalui cara ini, AS berharap bisa terjadi perang saudara di Irak dan AS dengan mudah bisa menguasai negara itu. Namun, tentu saja, rakyat Irak dan opini dunia yang sadar dan waspada, tidak akan termakan propaganda AS ini. * Hubungan Iran-Irak Pasca Runtuhnya Saddam Husein Perkembangan di Irak pasca-Saddam tidak hanya akan mempengaruhi hubungan luar negeri, mereka juga akan secara signifikan mempengaruhi kerangka kebijakan luar negeri dan bahkan sistem politik cengeng yang paling geopolitically yang secara signifikan merupakan tetangga yaitu Iran. Walaupun Teheran dan Baghdad telah mendominasi gambar keamanan Teluk Persia selama lebih dari 20 tahun, Iran dan Irak entah bagaimana ditakdirkan untuk menjadi saingan. Meskipun ketegangan parah selama bertahun-tahun sejak akhir Perang Iran-Irak pada tahun 1988, kedua negara telah menunjukkan kapasitas untuk bekerjasama dengan satu sama lain. Namun demikian, beberapa persoalan mendasar harus diselesaikan sebelum Teheran akan memandang Irak sebagai tetangga yang dapat diandalkan. Sorotan sekarang sangat banyak pada kontur politik dan struktur yang muncul dari rezim Saddam pasca di Irak, situasi ini memberi kesempatan untuk menjelajahi keprihatinan Teheran dan metode yang tersedia untuk mengatasi mereka serta efek runtuhnya rezim Ba’th dalam kebijakan regional iran dan prospek hubungan AS-Iran. Beberapa mitos tentang hubungan Iran dengan Irak harus dikuburkan, yang pertama adalah gagasan terus-menerus bahwa kedua negara ditakdirkan untuk persaingan. Gagasan bahwa permusuhan geopolitik kuno menggarisbawahi hubungan antara negara-negara modern di Iran dan Irak adalah palsu. Memang bila melihat daerah melalui lensa sejarah dan bukan riil politik kontemporer, kemitraan strategis yang telah muncul antara sekuler pan-Arab Suriah dan Islam Iran adalah sulit untuk dijelaskan. Namun ketertarikan menentukan kebijakan dan sejarah menginformasikan itu, bukan sebaliknya. Dengan kata lain, ketegangan dalam hubungan Iran-Irak modern hampir tidak ada hubungannya dengan kompetisi Ottoman-Persia di Mesopotamia atau teologis dan perbedaan ideologis antara Sunni dan Shi'as, meskipun kedua pihak telah secara rutin merobek halaman dari buku-buku sejarah untuk membenarkan tindakan mereka sendiri. Untuk menggali kompleksitas hubungan kontemporer Iran-Irak dibutuhkan rasa untuk menerima kenyataan bahwa ketegangan antara kedua negara ini berakar pada perkembangan terbaru. Sepintas, tampaknya menggembirakan juga pendekatan dua negara yang sempat berperang selama delapan tahun, antara 1980 sampai 1988. Perang itu dimulai oleh rezim Saddam Hussein terhadap Republik Islam Iran pimpinan Ayatollah Khomeiny yang mungkin sudah menewaskan sampai sejuta orang. Warisan perang ini cukup pahit. Tetapi dengan dijatuhkannya Saddam Hussein semuanya jadi berubah. Irak sekarang punya pemerintahan yang didominasi oleh dua partai Syiah utama, SCIRI dan Partai Islami Da'wa. Keduanya bersatu dalam Aliansi Irak dan merupakan pemenang pertama pemilu Januari lalu. Amerika menyebut pemilu itu sebagai kemenangan besar rakyat Irak. Mayoritas warga Irak beraliran Islam Syiah, seperti juga mayoritas orang Iran. Di Irak juga terdapat tempat-tempat suci penganut Syiah, seperti di kota-kota Najaf dan Kerbela. Jadi masuk akal saja kalau Republik Islam Iran yang dipimpin oleh para ulama Syiah dan Irak yang sekarang dipimpin oleh Ibrahim Ja'afari, seorang perdana menteri Syiah dari partai Da'wa yang Islami, berniat untuk meningkatkan hubungan kedua negara. Tetapi keadaannya menjadi agak rumit kalau pemerintah Irak hanya bisa ada berkat peran Amerika. Tanpa invasi pimpinan Amerika, maka Saddam Hussein akan tetap bertengger kokoh pada kekuasaannya. Tetapi Amerika yang sama itu menganggap Iran sebagai salah satu negara "poros setan" dan konon adalah negara berikut yang harus menjalani "perubahan pemerintahan." Amerika Serikat menuduh Iran campur tangan dalam masalah dalam negeri Irak dengan menyelundupkan senjata, menyebar uang untuk beli pengaruh, menyusup ke dalam pelbagai agen intelijen, bahkan mengirim orang ke Irak untuk bertempur. Pendek kata, di mata Amerika, Iran juga berperan dalam menjadikan Irak tidak juga stabil, supaya bisa mewujudkan agendanya sendiri. Sikap risi Amerika diperkuat dengan kenyataan bahwa partai-partai Syiah di Irak, seperti SCIRI dan Partai Da'wa pimpinan Perdana Menteri Ja'afari bermarkas di Irak selama kekuasaan Saddam Hussein. Mereka bertempur bersama Iran terhadap Saddam Hussein. SCIRI khususnya bermarkas besar di Iran, didanai oleh Iran dan sayap militer partai ini yang bernama Brigade Badr dilatih oleh Garda Revolusi Iran. Tetapi aliansi itu didasarkan pada musuh bersama, itulah Saddam Hussein yang menindas dengan keji mayoritas warga Syiah di Irak. Partai-partai Syiah di Irak sama sekali bukanlah boneka Iran. Dan sekarang mereka kembali ke Irak, dengan tujuan utama melayani kepentingan Irak sendiri. Tuduhan Amerika bahwa Iran juga berupaya memporakporandakan Irak juga dibesar-besarkan saja. Pada dasarnya bisa dikatakan bahwa demi kepentingannya sendiri, Iran bersikap konstruktif terhadap perubahan kekuasaan di Irak. Iran bersorak ketika Saddam Hussein dijatuhkan, karena berarti dijatuhkannya seorang musuh bebuyutan. Iran juga mendukung pemilu di Irak. Karena Teheran berharap, dan harapan itu terbukti, pemenangnya adalah kalangan Syiah yang merupakan mayoritas. Dengan kalangan sealiran dalam tubuh pemerintah maka Iran berharap Irak akan merupakan tetangga yang bersahabat dan bukannya berkonfrontasi. Iran memang berupaya memperbesar pengaruhnya di Irak yang baru, tetapi Teheran jelas tidak punya kepentingan untuk menciptakan kekacauan di Irak. Lebih dari itu Iran juga tidak ingin melihat negara tetangganya terpecah-pecah. Maklum negara Kurdi di Irak Utara bisa membangkitkan keinginan merdeka di kalangan minoritas Kurdi Iran. Tetapi Iran juga tidak ingin supaya Irak berhasil sebagai sebuah negara demokratis. Dikhawatirkan rakyat Iran juga ketularan gagasan demokrasi yang jelas tidak sama dengan kekuasaan para mullah sekarang. Lebih dari itu, dan melihat buruknya hubungan Amerika-Iran, Teheran merasa terancam dengan begitu besarnya jumlah pasukan Amerika di Irak. Kalau krisis antara Amerika dengan Iran soal masalah nuklir meningkat, dan kalau Amerika sampai melancarkan aksi militer terhadap Iran, maka bisa diperkirakan Teheran akan menggunakan pengaruhnya untuk membangkitkan segala macam pemberontakan. Apakah itu pemberontakan orang radikal Kurdi atau radikal Syiah pimpinan Moqtada as-Sadr, walau pun mungkin bukan pemberontakan kaum Baath yang anti Iran atau kelompok anti Syiah yang sangat kejam pimpinan Zarqawi. Sementara itu, Perdana Menteri Irak saat itu Ibrahim Ja'afari akan berupaya sekuat tenaga untuk meyakinkan bahwa negaranya tidak menjadi pentas bagi kemungkinan konflik terbuka Amerika-Iran. * Dilema Hubungan AS, Iran, dan Irak Pasca Saddam Husein Memang tak ada lagi kepentingan AS di Irak kecuali membuat negeri itu pulih dari karut marut akibat lima tahun berada di bawah pendudukan pasukan asing. Untuk meninggalkan Irak dalam waktu dekat ini sepertinya belum mungkin bagi AS. Mengapa' Ini karena Irak di bawah pemerintahan Perdana Menteri Nouri al-Maliki belum sepenuhnya stabil. Padahal, PBB memberi mandat kepada pasukan asing berada di Irak hingga 31 Desember 2008. Untuk itulah Amerika berusaha memanfaatkan celah agar mereka masih dapat bertahan di negeri itu untuk waktu lebih panjang, tentunya melewati batas akhir yang diberikan PBB. Meninggalkan Irak dalam keadaan kacau, tentu bukan hal diinginkan Washington, terutama George W Bush. Jika ini dilakukan, tentu akan membuat malu Amerika di kancah internasional karena misi mereka di Irak gagal total. Dan pada akhirnya akan merugikan pamor presiden Amerika mendatang. Keinginan Washington bertahan di Irak diupayakan melalui pembentukan pakta keamanan dengan Irak. Tapi upaya menjalin kerjasama pertahanan dan keamanan ini mendapat penentangan tak hanya dari sebagian besar rakyat Irak, tapi juga dari negara tetangga, Iran. Mengapa Iran gerah dengan rencana pembentukan pakta keamanan AS-Irak itu' Hal ini tentu terkait dengan potensi bahaya terhadap keamanan negeri itu di masa mendatang. Lebih jelasnya adalah, Iran khawatir Irak akan dijadikan pangkalan bagi pasukan AS jika suatu saat nanti Paman Sam ingin menyerang Teheran. Selama ini Washington selalu memprovokasi Teheran terkait dengan kengototan Negeri Persia ini untuk melanjutkan program nuklirnya meskipun sudah mendapat tiga sanksi dari Dewan Keamanan PBB. Untuk meredakan kekhawatiran Teheran, Irak mengutus PM Nouri al-Maliki ke Iran. Kepada para petinggi Iran, al-Maliki mereka tak khawatir dan tak perlu menentang rencana pakta keamanan AS-Irak. Al-Maliki menjamin negaranya tidak akan menjadi pangkalan bagi pasukan AS untuk menyerang Iran. Irak memang perlu menjelaskan posisinya kepada Iran karena peta hubungan kedua negara saat ini berubah total setelah kejatuhan Saddam Hussein. Pasca-Saddam, para pemimpin Irak memiliki hubungan emosional yang lebih erat karena mereka berasal dari kelompok yang sama, yaitu Syiah. Berbeda dengan di era Saddam yang berasal dari kelompok Sunni. Pada saat yang sama, Irak juga masih bergantung pada Amerika. Pasalnya, pemerintahan al-Maliki yang mayoritas Syiah, adalah pemerintahan yang disponsori Washington yang dibentuk untuk meredam aksi perlawanan dari kelompok Sunni yang pro-Saddam. Perlawanan dari kelompok Sunni ini bisa dimaklumi, karena selama berpuluh-puluh tahun, meski mereka bukan mayoritas, telah menguasai Irak di era Saddam. Sehingga ketika Saddam jatuh, Sunni menjadi kelompok yang terpinggirkan, yang digusur kelompok Syiah yang mayoritas. Namun belakangan, perlawanan terhadap pasukan AS dan pemerintah boneka Washington tak hanya dilakukan kelompok Sunni, tetapi juga melibatkan kelompok Syiah garis keras yang pro-Iran pimpinan ulama Moqtada al-Sadr. Di sinilah muncul keunikan dalam hubungan antara Irak-Iran-AS, yaitu hubungan segitiga yang saling menguntungkan. Mengapa demikian' Bermula dari keinginan Amerika untuk menstabilkan kondisi keamanan di Irak yang diwarnai aksi perlawanan kelompok al-Sadr. Iran yang memiliki hubungan emosional sebagai sesama Syiah, diajak oleh Washington untuk berunding. Memang, bagaimanapun juga Iran masih memegang peran kunci dalam menciptakan kestabilan di Irak. Teheran banyak memberikan dukungan kepada para pemimpin Irak yang berasal dari Syiah. Kondisi ini tentu dipahami Washington, sehingga mereka tak segan mengundang untuk ikut berembuk mengupayakan perdamaian dan kestabilan di Irak. Namun, Iran belakangan menarik diri dari perundingan segitiga itu setelah mereka dituduh memberikan pelatihan dan pendanaan kepada kelompok perlawanan pimpinan al-Sadr. Kini tergantung pada sikap pemerintah Irak dan Amerika. Jika mereka tetap bersikukuh membentuk pakta keamanan, mereka siap-siap menghadapi penentangan luas di seluruh Irak dan juga Iran. Dan jika pasukan AS tetap bertahan di sana, jangan harap Irak stabil dan aman, karena setiap hari kelompok perlawanan akan mengganggu ketenangan prajurit AS dengan serangan bersenjata maupun serangan bom bunuh diri. Sementara Iran tentu tak akan tinggal diam jika pakta itu terwujud. Mereka tentu akan meningkatkan kesiagaan menghadapi kemungkinan serangan dari Amerika melalui Irak. Yang paling ditakutkan adalah mereka akan meluncurkan rudal berhulu ledak nuklir. Jika itu terjadi, Timur Tengah akan membara. KESIMPULAN Hubungan Iran-Irak masuk fase baru dan itu artinya perdamaian sesama negara Islam di Timur Tengah setahap demi setahap menuju ke arah yang lebih cerah. Bangsa Arab di wilayah ini sebenarnya sudah lelah melihat konflik yang berkepanjangan yang dipicu oleh negara lain di luar Timur Tengah yang tidak ingin adanya rasa kedamaian dan tenteram di sana. Setelah Perang Dunia II, seyogyanya tidak muncul lagi pertikaian antar bangsa-bangsa, namun suasana perang berlanjut di berbagai belahan dunia termasuk di wilayah Timur Tengah yang notabene adalah negara-negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Tetapi, Timur Tengah yang kaya minyak bumi menjadi ajang perebutan pengaruh dunia internasional, terutama negara-negara besar yang merasa menjadi pemenang Perang Dunia II. Keberadaan negara Israel yang didorong kehadirannya oleh negara-negara besar, salah satu penyebab timbulnya konflik berkepanjangan di wilayah ini. Selain itu, pertentangan yang dipicu adanya aliran dalam Islam juga ikut mempengaruhi suasana tenteram di kawasan negara-negara Asia Kecil ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Anoushiravan Ehteshami, “Iran-Iraq Relations After Saddam”, The Washington Quarterly, Autumn 2003, p.116. 2. “Iran Says It Will Not Meddle In Iraqi Affairs”, at (www.freerepublic. com/focus/f-news/1023923/posts) 3. Ahmed H. El-Afandi, “The Iran-Iraq War: Causes And Origins Of The War”, at (http://course1.winona.msus.edu/aelafandi/ PolSci270/iran-iraq-war.htm) 4. See Nadia El-Sayed El-Shazly, The Gulf Tanker War: Iran and Iraq’s Maritime Swordplay (London: Macmillan, 1998). 5. Jim Muir, “Iran: The American Threat,” Middle East International, June 13, 2003. 6. For an assessment of SCIRI, see Phebe Marr, “Iraq the ‘Day After’: Internal Dynamics in Post-Saddam Iraq,” Naval War College Review (winter 2003). POLA HUBUNGAN IRAN – IRAK PASCA RUNTUHNYA REZIM SADDAM HUSEIN ACHMAD RIFAIE DE JONG : 073112350750096 FARRAH REFNIHANA : 073112350750057 MATA KULIAH : HIK AFRIKA DAM TIMUR TENGAH
上一篇:Kudler 下一篇:Job_Analysis